Sore menjelang, aku duduk di ruang tamu menunggu kehadiran seorang teman yang akan datang berkunjung dalam rangka mengerjakan tugas kelompok. Sudah sekitar 30 menit aku duduk di sini namun dia tidak kunjung muncul. Apa aku harus menghubunginya?
Aku segera mengambil ponsel yang terletak di atas meja, kemudian mencari kontaknya.
To Hamba Allah: Hei, kamu jadi datang atau tidak? Aku sudah capek menunggumu.
Send!
Lama aku menunggu Abdullah membalas pesanku. Apa dia menonaktifkan ponselnya? Lebih baik aku coba telpon saja.
Aku langsung menekan tombol hijau pada layar ponsel. Nada tunggu panggilan terdengar. Tak selang berapa lama, suara terdengar dari seberang telepon.
"Halo, kenapa kamu menelponku?"
"Karena kamu tidak membalas pesanku."
"Aku akan datang setelah salat ashar. Apa kamu tidak salat?"
"Kenapa kamu bertanya begitu?"
"Sudah dulu, aku matikan."
Tuut tuut!
Bunyi sambung telepon diputuskan.Dia itu kenapa? Aku adalah seorang muslim, barang tentu senantiasa melaksanakan salat 5 waktu sehari semalam. Apa aku harus salat dulu di depannya baru dia percaya? Entah mengapa, perkataannya membuatku tersinggung.
Allahuakbar, Allahuakbar.
"Mending aku salat dulu." Aku menghempaskan ponsel di atas sofa seraya beranjak ke kamarku.
..."Anonim! Ada temanmu di depan!" seruan Ibu terdengar jelas dari dalam kamarku.
"Iya, tunggu sebentar!"
Aku mematut diri di depan cermin. Aku sedang memastikan kalau pakaianku layak agar orang itu tidak mengajukan protes lagi. Aku menggunakan rok dan baju yang dia berikan kemarin. Setelah selesai, aku bergegas turun ke lantai satu.
"Abdullah." Aku duduk di atas sofa.
Dia mendongak singkat. Ia meletakkan bukunya ke atas meja. Kemudian Abdullah mengeluarkan selembar kertas HVS dari dalam tasnya dan menyodorkan kertas tersebut padaku.
"Tulis apa yang ada di pikiranmu saat ini," ujarnya tanpa melihatku.
"Untuk apa?"
"Tulis saja! Aku juga akan melakukan hal yang sama. Biasanya puisi dibuat sebagi bentuk manifestasi dari perasaan atau pikiran seseorang yang sulit untuk diungkapkan secara lisan. Setelah selesai, kita bisa membandingkan hasilnya. Pakai karya punyamu atau pakai hasil karyaku," terang Abdullah dengan suara lugas.
"Kenapa kita tidak langsung berkolaborasi saja? Ini tugas kelompok."
"Orang yang ingin menulis bersama harus saling memahami perasaan dan pola pikir satu sama lain agar bisa menghasilkan sebuah karya yang indah."
"Ayo kita lakukan itu!" seruku bersemangat.
"Lakukan apa?"
"Saling memahami perasaan. Kita bisa mencobanya."
Abdullah menatapku sekilas, kemudian kembali menunduk.
"Perkataanmu bisa membuat orang yang mendengar salah paham," ujarnya sembari menulis sesuatu pada kertasnya.
"Apa maksudmu?"
"Kamu tidak mengerti?" Dia memandangku sembari mengangkat alisnya.
Aku mengangguk cepat.
"Kalau ucapanku saja kamu tidak paham, bagaimana kamu bisa memahami perasaanku?"
"Kamu itu ngomong apa sih!"
"Sudah, cepat lakukan. Aku harus pulang sebelum maghrib," sahutnya cuek.
Aku menghembuskan napas secara perlahan. Nampaknya aku sedang berhadapan dengan orang yang suka bermain kata, lebih baik aku turuti saja apa maunya.
Diam-diam aku memandangi Abdullah. Dia sangat serius menjalankan tugasnya. Sesekali dahinya berkerut karena terlalu keras berpikir. Apa yang sedang dia tulis? Duh, kenapa aku malah penasaran dengan hasil karyanya?
Aku menyelipkan rambut ke belakang telinga. Lalu mulai tenggelam dalam aktivitasku.
Kami sama sekali tak terlibat percakapan apapun hingga aku menyelesaikan tulisanku.
"Aku sudah selesai." Aku tersenyum bangga.
"Sejak 30 menit yang lalu aku sudah selesai," jawab Abdullah dengan wajah datar.
Aku mencebikkan bibir.
"Mana? Coba kulihat hasil karyamu." Abdullah menadahkan tangan.
"Punyamu mana? Aku juga mau melihatnya." Aku balas menadahkan tangan.
Kami saling menyerahkan selembar kertas. Kemudian tanpa menunggu lama kami langsung membaca setiap bait kata yang tertera dalam kertas tersebut.
Aku tertegun membaca tulisan Abdullah. Hanya terdiri dari 2 bait namun mengandung makna yang begitu dalam. Tentang sesuatu yang selama ini luput dari pikiranku. Siapa aku?
Lamunanku buyar karena mendengar suara tawa Abdullah.
"Kamu kenapa?" tanyaku tersinggung. Dia tertawa setelah membaca tulisanku.
"Kamu lupa? Dosen melarang kita membuat puisi romansa."
"Itu bukan tentang romansa! Aku hanya menggambarkan sosok seseorang dalam bentuk puisi."
"Benarkah?" Dia tersenyum simpul. "Orang itu adalah aku?"
"Ck! Kamu sangat percaya diri."
"Ternyata bukan, ya?" Abdullah kembali mengamati kertas yang ada dalam genggamannya.
"Dia sosok yang misterius. Ucapannya selalu membuatku bingung. Aku tak bisa memahaminya meski aku ingin. Dia seperti bayangan di bawah langit senja."
"Hei, jangan dibaca!" Refleks Aku ingin menari kertas tersebut namun Abdullah malah menjauhkan tangannya.
"Dia mengaku sebagai Hamba Allah. Apa itu bukan aku?"
"Hmmm." Aku hanya bergumam.
"Baiklah. Kita pakai saja puisiku. Aku tidak mau menjadi sorotan publik. Kamu setuju, kan?" tanyanya sembari merapikan buku dan alat tulis yang berserakan di atas meja.
"Kamu sudah mau pulang?" tanyaku begitu melihat dia memakai tasnya. Tak lupa pula Abdullah menggendong gadis kecil yang sudah tertidur pulas. Kenapa dia selalu datang bersama gadis itu?
"Kenapa? Kamu mau aku menginap di sini?"
Aku mendengus.
"Jangan lupa baca alquran surah An-nur ayat 31. Sudah ya, aku pergi," ujarnya sambil berlalu dari hadapanku.
"Puisiku mana?!"
"Aku akan menyimpannya!" sahutnya sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu.
Setelah kepergian Abdullah, aku langsung membuka aplikasi alquran yang ada di dalam ponsel dan segera mencari ayat yang tadi dia sebutkan.
"Hemm, ternyata dia sadar kalau aku perhatikan tadi. Dasar orang itu!"
-TBC-
A.n siapa yang deg-degan? aku!! :v
jangan ragu klik vote dan coment :)
28 September 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Anonim | ✔
Espiritual[Chapter lengkap] Ini tentang Anonim yang berusaha menemukan makna hadirnya di dunia. Lewat tiga pertanyaan besar yang selalu menghantui pikiran. Dari mana manusia berasal? Apa tujuan hidup di dunia? Setelah meninggal, ke mana manusia akan pergi? Su...