43. Efek Terlambat

1K 179 14
                                    

Aku terlambat!

Aku berlari kencang menuju ruangan yang terletak di ujung koridor lantai dua. Gara-gara pusing memikirkan ucapan Ibu aku sampai sulit tidur semalaman. Jam tiga dini hari aku baru bisa memejamkan mata. Bangun pukul empat lebih sedikit untuk salat subuh, lalu tertidur lagi. Dan kembali membuka mata saat Ibu sudah mengamuk karena aku kesiangan.

Sebenarnya itu bukan masalah besar, kalau saja aku tidak melupakan satu hal penting pagi ini. Tugas membuat makalah. Aku sama sekali belum mengerjakannya. Jangankan memulai, kelompok pun aku tak punya.

Sekarang apa yang harus kulakukan? Haruskah aku kabur dan bolos saja? Lagipula, aku tidak akan dibunuh hanya karena bolos satu kali.

Aku menggeleng. Itu bukan solusi. Selama mengenyam pendidikan, aku tak pernah sekali pun menghilang tanpa izin dari kelas. Aku tak mau merusak rekor sendiri.

Aku menyentuh kenop pintu berwarna cokelat yang ada di depanku. Kini pintu itu terlihat sangat menyeramkan. Seperti ada ribuan hewan buas yang menunggu di dalamnya.

Duh, apa yang kupikirkan sih? Kenapa aku mendadak berubah jadi alay begini?

Setelah berdebat dengan diri sendiri, aku memutuskan untuk tetap masuk kelas dan siap menerima segala konsekuensi yang ada. Bukankah aku sudah terbiasa dengan rasa sakit? Diusir dengan cara tidak terhormat takkan membuatku mati.

Kuputar kenop pintu lalu mendorongnya secara perlahan. Aku mengintip dari balik celah yang sedikit terbuka. Kulihat Putri dan kawan-kawannya sudah duduk rapi di atas podium. Ternyata mereka yang akan tampil pertama untuk presentasi makalah tentang analisis karya sastra kontemporer. Akan tetapi, sepertinya mereka belum memulai karena aku tak melihat apa pun di layar proyektor. Seperti biasa, layar proyektor masih menampilkan logo dan nama universitas yang besarnya hampir menutupi seperempat layar.

Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Masih ada lima menit lagi sebelum batas toleransi keterlambatan. Aku harus masuk atau aku akan benar-benar disuruh menutup pintu dari luar oleh Bu Nana, dosen yang berwajah jutek tempo hari.

Aku melangkah pelan menuju salah satu bangku kosong yang letaknya paling dekat dengan pintu masuk. Berharap tak seorang pun menyadari kehadiranku. Namun sepertinya usahaku gagal, karena sedetik berikutnya kulihat Putri memandangku aneh. Dia berdiri dari kursinya seraya berkata, "itu orangnya, Bu. Dia baru datang."

Lalu semua kepala menoleh ke belakang, menengok ke arahku.

Aku menelan ludah gugup. Dengan perasaan tak menentu aku memiringkan kepala, melirik  ke arah Bu Nana. Tepat seperti yang kutakutkan, dia memandangku dengan wajah yang lebih jutek dua kali lipat dari biasanya. Aku hanya bisa berharap, lisannyanya tak setajam Putri. Atau aku akan pura-pura pingsan saja untuk menyelamatkan diri.

Aku melangkah cepat menuju Bu Nana. Setelah aku berdiri di depan mejanya, aku mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sebagai pertanda bahwa aku mengakui kesalahanku karena terlambat.

Dia menatap tanganku lama, mendongak dengan wajah datar, kemudian ia menyambut tanganku dan kami pun bersalaman.

"Maaf, Bu. Saya kesiangan," ucapku sambil melepaskan tangan dari genggamannya.

"Bukan masalah, karena kamu belum melewati batas maksimal. Kamu boleh duduk," perintahnya seraya menunjuk kursi kosong yang ada di samping kirinya dan di samping kanan Putri. Kursi untuk kelompok pemateri.

"Maaf?"

Apa dia tidak salah? Aku bukan bagian dari kelompok penyaji, jadi tak masuk akal bila aku duduk di situ.

"Kamu kelompok satu, kan? Lihat, namamu ada di layar."

"Hm?"

Aku langsung mendongak saat mendengar ucapannya. Keningku berkerut bingung begitu mendapati namaku terpampang di layar proyektor bersama deretan nama mahasiswa lainnya. Bahkan namaku terletak di urutan awal, mungkin karena dimulai dari huruf pertama.

Aku melirik Putri yang ternyata juga sedang memandangku. Dia menggerakkan dagunya seolah memberi perintah agar aku cepat duduk di sampingnya dan berhenti membuat wajah bodoh di depan kelas. Ekspresi yang tergambar jelas di wajahnya sungguh menjengkelkan.

"Baik, Bu. Terimakasih," gumamku sebelum berjalan ke arah kursi yang telah tersedia tanpa melepaskan ransel terlebih dahulu.

"Kenapa aku bisa ada di kelompokmu?" bisikku pada Putri begitu aku duduk di sebelahnya.

"Jangan banyak tanya! Aku tidak mau tahu, kamu harus bisa mengimbangi kami."

Aku melotot. Bagaimana bisa? Aku sama sekali tidak tahu karya apa yang akan mereka analisis.

Sudahlah, tidak ada gunanya berdebat. Aku hanya berharap semoga mereka menganalisis salah satu karya sastra yang pernah kubaca.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Putri mulai membuka presentasi begitu moderator mempersilakannya. "Kami akan menyajikan sebuah novel kontemporer karya Putu Wijaya berjudul Bila Malam Bertambah Malam."

Aku menghembuskan napas lega. Senyum riang terukir di bibirku. Aku pernah membaca novel itu.

"Secara garis besar, tema sentral Bila Malam Bertambah Malam adalah tentang sebuah cara memanusiakan manusia. Dimana Gusti Biang yang notabene terlahir dari kasta ksatria, mau tidak mau harus menuruti nurani dan logika dengan meninggalkan kehormatannya, atas nama cinta ..."

Aku tertegun menyimak penjelasan Putri. Kini aku tersadar bahwa tulisan mampu mengubah hidup orang lain. Kalau pun tidak, minimal karya tulis akan terus ada bahkan setelah penulisnya meninggal.

Kata orang bijak; menulis membuatmu bersejarah.

Aku bersorak dalam hati. Sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku tahu bagaimana caranya agar menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain.

Hari itu diskusi kami berjalan lancar. Dengan aku yang mampu mengimbangi alur yang mereka ciptakan. Segalanya berakhir dengan tepuk tangan dan perolehan nilai A minus dari dosen.

Satu hal yang membuatku bertanya-tanya; mengapa Putri mau memasukkan aku ke dalam kelompoknya?

-TBC-

A/N: Apa masih ada yang baca cerita ini ya? Kok nggak ada yang ninggalin jejak? 😴

7 Part menuju ending...

Sekian.

Umul Amalia,

25 Desember 2017.

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang