49. Pusaran Waktu

1.1K 146 13
                                    

Bumi terus berotasi, terjadinya siang dan malam sungguh suatu keniscayaan. Bulan dan matahari masih setia menjalankan peran. Waktu terus bergulir, dan hari kian berganti. Tak terasa sudah tiga bulan berlalu sejak pertama kali aku datang mengunjungi rumah Putri. Kini kami masih menjadi bagian dari segelintir manusia yang sibuk berkutat dengan buku dan pena.

Banyak hal tentang Abdullah masih menjadi misteri. Takkan bisa terjawab kecuali oleh dirinya sendiri. Tak ada seorang pun yang tahu tentangnya. Tidak lokasinya berada, tidak juga alasan dibalik kepergiannya. Kata Putri, ayahnya, Pak Suryono, bahkan tidak tahu di mana keberadaan putranya. Hilang. Seolah tak pernah ada sosok pemuda yang bernama Abdullah di muka bumi ini. Benar-benar lenyap tanpa jejak.

Awalnya aku berpikir hari-hari tanpanya akan terasa menyulitkan. Dan memang benar, kealpaannya mengharuskan diri membentuk suatu relasi baru. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah pertemanan yang berbeda.

Kedatanganku di rumah Putri kala itu bukan menjadi yang terakhir. Karena setelahnya, aku jadi lebih dekat dengannya bahkan orangtua Putri juga mengenalku. Lalu entah bagaimana caranya, Raka masuk ke dalam pertemanan kami.

Hari ini merupakan hari istimewa bagi keluarga Pak Wira, ayah Putri. Hari dimana anak sulungnya siap untuk menyambut toga. Sebuah ritual yang tak begitu penting, tapi menyimpan banyak makna.

Wisuda berarti siap untuk menghadapi dunia luar.
Siap menerima tantangan. Juga siap berkontribusi untuk negeri.

"Selamat ya, Kak Risa. Akhirnya dapat juga gelar sarjananya," ucapku sambil mengulurkan tangan pada Risa.

Dia terlihat cerdas dengan toga di kepala dan selempang bertuliskan cumlaude yang tersampir di badannya.

Risa terkekeh pelan. "Kupikir kamu tidak akan datang karena informasinya sangat mendadak. Maaf ya, selama ini tidak menghubungimu. Ponselku yang lama hilang dalam perjalanan ke Yogyakarta." Dia memelukku singkat.

Aku berdehem, lalu tersenyum maklum. "Aku sudah tahu dari Putri, Kak. Kalau ponselmu hilang."

Risa mengangkat satu alisnya. "Ada yang terlewatkan selama aku pergi? Kudengar kalian tidak dekat."

Aku mengedikkan bahu. "Banyak hal yang terjadi, dan terpaksa membuat kami berteman."

"Terpaksa?"

Aku menyengir lebar. "Bercanda, Kak," timpalku seraya mengangkat jari telunjuk dan jari tengah membentuk tanda peace.

"Kamu ini," Risa menyenggol bahuku. "Eh, sudah ya, aku mau menyapa teman yang lain. Kebetulan orangtuaku sudah menunggu. Assalamualaikum," ujarnya sambil memutar tubuh, ingin meninggalkan aku.

Aku langsung menahan pergelangan tangannya. "Tunggu, Kak!"

Dia berhenti, lalu menoleh dengan cepat. Mengangkat satu alisnya seolah menyiratkan pertanyaan.

Aku maju satu langkah hingga jarak di antara kami memendek. "Kak, kayaknya laki-laki yang berdiri di bawah pohon itu memperhatikan kamu daritadi."

"Mana?" tanya Risa berbisik.

"Pohon palem yang tumbuh di pinggir jalan. Apa kamu kenal dia?"

Risa mengernyitkan dahi, memutar kepala, menoleh cepat ke arah yang telah kusebut tadi. Kemudian dia menghadap lagi padaku seraya berkata, "itu teman satu kelasku. Kamu yakin dia memperhatikan aku?"

Aku mengangguk cepat. Sejak awal Risa berbincang denganku, laki-laki itu telah mengamatinya.

"Baiklah, terimakasih informasinya. Aku pergi, bye!" pamitnya sambil melambaikan tangan.

Sepeninggal Risa, aku langsung mengitarkan pandangan ke seluruh penjuru yang bisa kucapai. Mencari seseorang yang tadi datang bersamaku.

Aku menggeleng heran saat menemukan mereka sedang berdebat di pinggir jalan. Beberapa orang bahkan melirik mereka. Tanpa menunda waktu, aku segera berlari menghampiri keduanya.

"Hei, ada apa?" tanyaku begitu sampai di dekat mereka.

"Dia sangat menyebalkan! Kenapa harus ada gadis seperti ini?!" sambar Raka sembari membuang napas kuat.

"Apa kamu bilang?" tantang Putri dengan wajah garang.

Aku berdecak. "Sudah, sekarang apa lagi?" leraiku sambil menjauhkan Putri dari Raka. Aku berdiri di antara keduanya.

"Aku mengajaknya untuk foto berdua, tapi dia menolak. Makanya aku kesal," jawab Raka cepat.

Aku memutar bola mata malas. Sudah kuduga akan begini kalau membiarkan mereka hanya berdua saja tanpa pengawasan. Seperti biasa, mereka pasti akan memperdebatkan hal-hal sepele.

Aku belum sepenuhnya mengerti tentang permasalahan yang ada diantara keduanya. Selama aku berteman dengan Putri, dia sering sekali mengungkapkan kekesalannya pada Raka tanpa menambahkan penjelasan detail. Tentang penyebab mereka berdebat.

"Jelaslah! Kita ini bukan mahram, dilarang berduaan. Harus berapa kali aku sampaikan? Jaga jarak denganku," timpal Putri ketus.

"Alah! Pas kecil juga biasanya pengen tidur sama aku," cibir Raka.

Putri melotot. Aku tertawa geli. Mereka berdua sangat kekanakan.

"Masih mau berdebat? Kalau begitu, aku duluan. Kak Risa sudah memanggil kita. Apa kalian tidak mau foto keluarga?" pancingku sembari berlalu pergi.

"Anonim, tunggu!" seru mereka berbarengan.

Aku tertawa bahagia. Raka berjalan di sebelah kiri, agak jauh dariku, sedangkan Putri berada di sebelah kananku. Kami bertiga melangkah bersisian menghampiri keluarga Pak Wira yang sudah berjejer rapi menunggu kami.

-TBC-

A/N: Nah, masih ada yang nungguin, kan? Selamat membaca :)

Chapter selanjutnya diprivate guys 😊

Umul Amalia,

30 Desember 2017

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang