40. Finding You

1.1K 140 28
                                    

Minggu pertama pada bulan Februari, sudah tujuh hari berlalu sejak kuliah perdana semester genap.

Setiap dosen sudah memberikan kontrak perkuliahan beserta rancangan materi untuk satu semester ke depan.

Beberapa dosen mengutamakan kerja individu, sedang yang lain menerapkan kerja kelompok. Aku tak mengalami kesulitan untuk bekerja individu, justru aku menikmatinya. Tapi, disitulah letak masalah sesungguhnya. Aku terlalu asik dengan dunia sendiri hingga nyaris lupa kalau masih ada orang lain di dalamnya.

Aku kesulitan untuk membentuk kelompok dengan orang lain. Terlebih, dosen menyerahkan sepenuhnya pemilihan anggota kelompok kepada mahasiswa. Dan seperti biasa setiap mereka akan mencari teman satu komplotannya.

Jumlah total mahasiswa di kelas ada dua puluh sembilan orang. Kami disuruh membagi empat orang untuk satu kelompok. Artinya ada satu mahasiswa yang tersisa, sehingga harus bergabung dengan salah satu dari kelompok yang sudah terbentuk. Jadi, enam kelompok terdiri dari empat orang, sedangkan sisanya ada lima orang.

Dan akulah si mahasiswa sisa yang tak punya kelompok.

Aku menatap gusar pemandangan di hadapanku.

Kelas semakin sepi, beberapa mahasiswa sudah meninggalkan ruangan. Jangankan mengajak bergabung, menyadari kehadiranku pun sepertinya enggan mereka lakukan. Atau mungkin mereka sengaja mengabaikanku.

Sebenarnya aku tak masalah bila harus bekerja sendirian. Akan tetapi, sebelumnya dosen sudah menegaskan bahwa kerjasama mempengaruhi nilai individu. Hasil yang dicapai adalah perolehan bersama. Artinya, nilai setiap individu ditentukan oleh kelompoknya.

Berdasarkan desas-desus yang terdengar, beberapa dosen yang mengampu mata kuliah saat ini benar-benar menjadikan kerjasama sebagai standar perolehan nilai. Tak ada gunanya makalah bagus, kalau anggota kelompok tak memahami. Sungguh tak berguna, bila harus bekerja sendirian.

Aku menyederkan punggung pada sandaran kursi.

"Hah ..."

Disaat seperti ini aku amat sangat membutuhkannya.

Tak ada pertemuan sekali pun, entah itu yang disengaja, mau pun tidak disengaja. Tidak di koridor, cafetaria, masjid, perpustakaan, tempat parkir, kamar mandi, jalan dan berbagai tempat lainnya. Nihil. Aku tak pernah melihatnya selama satu minggu terakhir dan mungkin untuk seterusnya.

Awalnya kupikir dia hanya mengambil kelas yang berbeda. Aku masih menyimpan harapan bahwa kami akan bertemu di salah satu kelas yang sama diantara sembilan mata kuliah yang kuambil. Namun seiring berjalannya waktu, setelah satu minggu berlalu, aku menyadari bahwa dia benar-benar menghilang.

Aku sudah coba menghubungi nomornya berkali-kali, tapi tak pernah ada tanggapan. Operator selalu mengatakan bahwa dia tidak aktif.

Bagaimana lagi aku harus mencarinya? Aku tak tahu apa pun tentangnya. Haruskah aku bertanya pada pihak kampus? Tidak mungkin mereka memberikan alamat, jika aku tak punya alasan kuat.

Aku tersenyum getir.

Akhirnya simpul itu terlepas juga. Luka yang sebelumnya sudah sembuh, mungkin kini kembali menganga. Lubang yang perlahan tertutup, kembali terbuka lebar, bahkan sebelum berhasil tertutup rapat.

"Anonim," sebuah suara menghentikan lamunanku.

Aku mendongak ragu, kulihat Putri berdiri tak jauh dariku. Kutolehkan kepala ke seluruh penjuru ruangan, mataku membulat, mulutku sedikit terbuka, aku terkejut. Karena terlalu asik melamun aku tak menyadari kalau ruangan ini benar-benar sudah sepi. Tersisa aku dan Putri.

"Kenapa?"

"Kamu belum pulang?"

Aku memicingkan mata, memandangnya curiga. "Seperti yang kamu lihat, aku masih di sini."

Putri mendecih, lalu dia maju beberapa langkah. Sekarang kami berhadap-hadapan. Dengan aku yang duduk sambil mendongak, dan dia yang berdiri menjulang di hadapanku.

Putri merogoh sesuatu dari saku gamisnya, kemudian dia meletakkan tangan di atas meja. Tatapannya tertuju ke arahku, dengan suara pelan dia berkata, "aku tak tahu kenapa dia begitu perhatian padamu, padahal kamu tidak lebih dari perempuan penuh keanehan. Bahkan, sebelum pergi dia menyempatkan diri untuk menitipkan ini padaku."

Aku menatap bingung pada secarik kertas yang kini tergeletak di atas meja.

"Apa ini?"

Putri mengendikkan bahu seraya berlalu dari hadapanku.

Aku memutar bola mata melihat kelakuannya. Lalu perhatianku kembali tertuju pada kertas itu. Dengan ragu aku mengambilnya. Kubuka lipatan kertas itu sehingga menampilkan sebuah kalimat yang ditulis menggunakan bolpoin berwarna merah.

Aku memejamkan mata. Berbagai rasa menyeruak ke dalam benakku. Tidak salah lagi, ini tulisan tangannya. Seharusnya aku tidak lupa kalau Putri adalah sepupunya. Dengan begitu aku bisa bertanya pada Putri.

Tak ada kata-kata indah atau pun bait puisi menggugah jiwa. Hanya sebuah kalimat sederhana sarat makna. Perlahan aku mengumpulkan kembali kepingan asa yang sempat terpecah.

Diantara seribu kemungkinan. Tak adakah satu pun yang mungkin membawaku pada pertemuan dengannya?

 Tak adakah satu pun yang mungkin membawaku pada pertemuan dengannya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


-TBC-

A/N: 10 Part menuju ending... ^^

Umur Amalia,

22 Desember 2017

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang