Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, usai sudah liburan semester gasal tahun ajaran ini.
Akhir Januari ditahun 2014, waktunya bagi mahasiswa untuk kembali beraktivitas.
Aku tersenyum di depan cermin. Memandangi diriku dalam balutan pakaian yang tak pernah terpikir akan melekat di tubuhku.
Hari setelah liburan keluarga di bulan Desember tahun lalu, aku memutuskan untuk berpakaian sempurna seperti halnya Ibu. Aku sengaja melakukannya tanpa paksaan pihak mana pun.
Pada hari itu aku merasakan suatu sensasi yang berbeda. Gamis longgar yang melingkupiku sungguh membuat nyaman. Sangat berbeda dengan dugaanku diawal tatkala baru memakainya. Belum lagi ucapan Ibu kala itu yang selalu terngiang-ngiang dalam benakku.
Kita tak pernah tahu kapan ajal datang menghampiri.
Berkat itu pula akhirnya aku menemukan apa yang selama ini kucari. Lubang di dalam hatiku perlahan-lahan mulai tertutup, luka yang dulu menganga kini terkatup, kepingan yang sempat hilang kini telah kutemukan.
Kita tak pernah tahu kapan ajal datang menghampiri. Oleh karenanya, maksimalkan potensi untuk menggapai Ridho Ilahi.
Bukankah kalimat itu terdengar jadi lebih indah?
Setidaknya, sebelum benar-benar lenyap dari dunia, aku bisa memberi manfaat bagi orang lain.
Aku ingin, mereka tetap mengingatku setelah aku tak ada.
Bukan sebagai Anonim si gadis aneh, tapi sesuatu yang lebih berharga.
Itulah yang kuinginkan, tapi aku belum tahu bagaimana cara mewujudkannya.
Kuharap, aku segera menemukannya.
Aku meraih tas ransel yang kugantung di dekat cermin, kemudian berbalik, lalu berlari menuju ke lantai satu.
Kulihat Ayah dan Ibu sudah duduk manis di meja makan. Begitu aku sampai di dekat mereka, keduanya sontak melempar senyuman. Aku balas tersenyum riang. Tahun baru, semester baru, harapan baru.
Akankah ada yang berbeda?
"Kayaknya kamu bersemangat pagi ini," sapa Ayah sambil melirikku sekilas.
Aku hanya menanggapi dengan anggukan.
"Mau Ayah antar ke kampus?"
"Anonim bisa pakai sepeda. Jarak dari sini ke kampus juga dekat," sahutku sembari memasukkan roti tawar ke dalam mulut.
Selanjutnya kami mulai makan dengan tenang. Sesekali kami saling mengobrol satu sama lain. Begitu terus sampai aku selesai makan.
"Anonim sudah selesai. Berangkat ya, assalamualaikum," ujarku sambil menyalami mereka satu per satu.
"Hati-hati, Anonim!" terdengar suara Ibu sebelum aku menghilang di balik pintu.
Kukayuh sepeda dengan santai, menikmati semiliar angin yang menyapu wajahku. Sinar kuning keemasan merekah di balik awan. Muncul sembari tersenyum malu. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh kurang sedikit. Ada banyak waktu tersisa sebelum kelas dimulai.
Sebenarnya hal mendasar yang membuatku semangat adalah tampilan kartu hasil studi (KHS) semester ganjil. Tidak terlalu buruk untuk mahasiswa yang sering membuat dosen kesal.
Semester ini aku mengambil 24 SKS agar studiku cepat selesai. Aku yakin pasti akan sangat merepotkan. 24 SKS bukan hal yang mudah, tapi sengaja kulakukan karena aku tak memiliki kegiatan selain mengikuti kelas.
Jalanan yang kulalui masih sepi. Hanya segelintir orang yang nampak sedang berjalan kaki. Sepertinya mereka mahasiswa yang tinggal atau menyewa kos di sekitar kampus.
Tak lama kemudian, aku telah sampai di parkiran fakultas. Aku turun dari sepeda kemudian berlari kecil menuju gedung tinggi yang menjulang di hadapanku. Entah mengapa aku sangat suka berlari. Rasanya seperti segala masalah tertinggal jauh di belakangku. Aku merasa lega. Semakin lama, kecepatan lariku semakin cepat. Setelah beberapa menit, aku akhirnya tiba di lantai tiga gedung ini. Ruangan 301, itulah tujuanku sekarang.
Aku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Mengangguk singkat sebelum akhirnya bergerak memutar kenop pintu.
Pandanganku terarah pada satu titik, tertuju pada orang yang duduk di deretan paling depan. Tepat di hadapan meja dosen. Dia satu-satunya yang mengisi ruangan sebelum aku datang.
Aku melangkah teramat pelan, berharap dia tidak menyadari kehadiranku. Namun sepertinya usahaku gagal. Karena saat hampir mencapainya, orang itu berbalik.
Kulihat bola matanya sedikit melebar, kemudian senyum cerah terulas di bibirnya seraya berkata, "tak kusangka kita sekelas lagi, Anonim."
Kuliah perdana, disemester genap. Aku menemui dua keanehan; Pertama, dia menyapaku lebih dulu dengan wajah yang ceria. Kedua, dia tersenyum cerah.
-TBC-
A/N: Siapa nih yang dimaksud Anonim?
Umum Amalia,
18 Desember 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Anonim | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Ini tentang Anonim yang berusaha menemukan makna hadirnya di dunia. Lewat tiga pertanyaan besar yang selalu menghantui pikiran. Dari mana manusia berasal? Apa tujuan hidup di dunia? Setelah meninggal, ke mana manusia akan pergi? Su...