30. Notice, Me!

1K 153 35
                                    

Apa hubungan kalian?

Kutulis sebuah kalimat pada secarik kertas. Tanganku bergerak dengan cepat. Aku khawatir dosen akan menyadari kalau aku sedang tidak memperhatikannya. Jika dia tahu, aku pasti akan dapat masalah. Apalagi yang sedang menjelaskan di depan kelas saat ini adalah Bu Ani.

Setelah selesai, aku menyodorkan kertas itu ke arah orang yang duduk di sebelah kiriku. Aku sengaja melakukannya, karena bila aku mengajaknya mengobrol, dia pasti akan mengabaikanku.

Aku menoleh ke samping, kulihat dia masih fokus memperhatikan penjelasan dosen. Kertas yang kuberi sama sekali tidak disentuhnya.

Usai menunggu lama, aku tak kunjung mendapat respon. Akhirnya aku memutuskan menulis kalimat yang sama pada secarik kertas baru. Kemudian kusimpan di atas mejanya.

Nihil.

Dia masih tetap bertahan pada keseriusannya memperhatikan Bu Ani.

Aku mulai bertanya-tanya. Apa Bu Ani lebih menarik dariku?
Apa susahnya mengambil kertas itu? Apa tangannya kudisan?

Karena kesal diabaikan, aku pun memilih untuk mengambil selembar kertas berukuran A4. Kemudian aku membagi kertas itu menjadi potongan-potongan kecil yang sama panjang. Untuk memastikan ukurannya, aku sampai mengeluarkan penggaris dari dalam tasku. Setelah selesai, aku mulai mencoret kalimat yang sama percis, lalu menggulung kertasnya, dan kuletakkan semua hasil karya itu di atas mejanya.

Dan boom!!

Dia hanya melirik sekilas, mengernyit, lalu kembali fokus ke depan.

Oke. Ini benar-benar menyebalkan.

Aku menopang dagu sembari menatap layar proyektor yang terpampang di depan kelas. Pandanganku tertuju pada slide presentasi tapi pikiranku sungguh tidak fokus. Aku sibuk memikirkan bagaimana cara agar dia mau merespon.

Aku memutar kepala, memiringkan sedikit badan, menghadap ke arahnya.

Masih dengan wajah kesal dan tangan yang menopang dagu. Kupandangi wajahnya yang nampak amat sangat serius. Dia bahkan tak terpengaruh dengan potongan kertas yang terhambur di atas mejanya.

Sebuah kaca mata bertengger di hidungnya. Sesekali dia menyeka keringat yang menetes di pelipisnya. Atau menulis saat merasa ada sesuatu yang penting.

Setelah kuperhatikan cukup lama, aku baru sadar kalau ternyata dia memiliki wajah yang lumayan.

Tampan.

Aku mengerjap, kemudian membuang muka. Sepertinya aku butuh refreshing untuk menyegarkan otakku. Akhir-akhir ini kurasa pola pikirku sedikit berubah.

"Bu/Bu!"

Eh?

Aku menoleh ke arah Abdullah yang ternyata juga sedang menoleh padaku.

Bagaimana bisa? Dia juga mengacungkan tangan sama sepertiku.

Hening.

Entah mengapa, aku merasa kalau semua mata tertuju ke arah kami.

Untuk sesaat mata kami saling bersitatap sebelum akhirnya dia memutus kontak lebih dulu.

"Ada apa?" tanya Bu Ani.

"Izin ke toilet, Bu!" sahut kami bersamaan. Lagi.

"Ciee ..."

"Fuiitt ..."

"Anonim modus. Bilang saja mau bareng terus sama Abdul!" seru salah satu mahasiswa yang tidak kuketahui namanya.

Hah?!

"Hahahah ..." lalu disusul tawa yang memenuhi seluruh penjuru ruangan.

"Diam!!" teriakan Bu Ani menghentikan tawa mereka.

"Anonim," panggil Bu Ani, dia menatapku dengan dahi berkerut. "Apa benar yang dia katakan?"

"Maaf?"

"Modus. Kamu memang ingin melakukannya?"

Hah?!

Kenapa pula aku harus pakai modus segala? Kalau pun mau, setidaknya aku akan melakukan cara yang lebih keren. Bukan malah ikut ke toilet. Yang benar saja! Masa iya, modusnya di toilet?

Tanpa sadar aku malah tersenyum geli.

"Boleh saya pergi, Bu?"

"Kamu belum menjawab pertanyaanku."

Aku tersenyum. "Apa itu penting?"

"Wah ... dia itu benar-benar!"

"Dia masih belum berubah!"

"Kamu!" Mata Bu Ani melotot, wajahnya memerah, dan jari telunjuknya teracung ke arahku.

"Maaf, Bu. Aku harus pergi. Bisa repot cleaning service kalau aku pipis di sini. Iya kan?"

Dan tanpa menunggu lama, dengan setengah berlari, aku langsung keluar dari ruangan itu. Sesampainya di luar, agak jauh dari ruang kelas, aku berhenti. Kemudian terkekeh saat membayangkan wajah Bu Ani yang nampak geram.

Salah sendiri. Lagipula, untuk apa dia mempertanyakan sesuatu yang tidak berfaedah?

"Anonim!"

Aku tersentak saat ada seseorang yang memanggilku. Kuputar badan, menghadap ke belakang. "Oh!"

"Anonim, kamu ..." dia menghembuskan napas kuat. "Kenapa kamu selalu membuat masalah? Kamu tidak takut dosen akan marah?"

Aku memiringkan kepala, bingung.

"Jika terus seperti ini, kamu bisa saja mengulang tahun depan. Itu tandanya kamu tidak akan cepat wisuda."

"Ooh ..."

Aku mengendikkan bahu acuh.

Aku belum menentukan jalan hidupku ke depannya, setelah lulus kuliah, aku tidak tahu harus berbuat apa. Biarkan segalanya mengalir bagai air. Tidak ada alasan kenapa aku harus cepat-cepat meraih gelar sarjana.

"Biarkan saja. Aku tidak peduli," sahutku cuek.

"Tapi aku peduli!"

Huh? Tak kusangka ternyata dia benar-benar seorang teman yang baik.

"Soalnya ayahku tidak suka mahasiswi yang telat lulus. Apalagi, kalau sampai kena DO."

-TBC-

Update terakhir di bulan November. Yeayy^^

Awal Desember aku bakalan UAS, doakan ya.wkwk

See you.

Umul Amalia,

30 November 2017

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang