48. Sebab Terungkap

1K 154 47
                                    

"Tolong jangan menyela, aku ingin menceritakan sebuah kisah padamu. Juga membuat suatu pengakuan."

Aku mengangguk patuh. Jantungku berdebar kencang menanti kalimat yang terlontar darinya. Tanganku basah karena berkeringat. Dia yang mau membuat pengakuan, kenapa aku yang gugup?

"Kedua orangtua Abdullah sudah bercerai-"

"Apa?!"

Putri melotot.

"Maaf, silakan lanjutkan," gumamku salah tingkah.

Kenapa kisahnya dimulai dengan perpisahan? Apa tidak ada kisah yang lebih apik?

"Jangan mengeluarkan suara apa pun, atau aku akan batal memberitahumu," ancam Putri tegas.

Aku hanya mengangguk.

"Orangtuanya resmi bercerai setahun yang lalu. Tepat dihari kelulusannya, mereka berpisah. Abdullah benar-benar terpukul karena perpisahan mereka. Terlebih, saat tahu kalau ayahnya selingkuh ... jangan berteriak!"

Sontak aku menutup mulut pakai tangan kanan. Bagaimana caranya aku bisa diam kalau informasinya mengejutkan?

"Ayahnya selingkuh dengan teman kerjanya di kampus. Ya, kamu benar ... ayahnya memang seorang dosen, tapi matamu tidak usah melotot," omel Putri sambil menyeruput minumannya. "Dia adalah Pak Suryono ... aduh, sudah kubilang jangan berteriak! Aku belum menceritakan semuanya, tapi kamu sudah membuat tekanan darahku naik!"

"Maaf," cicitku. Gila! Maksudnya adalah Pak Suryono dekan fakultas sastra di kampusku? Aku menggeleng. Tidak, tidak. Ada banyak pemilik nama begitu di dunia ini.

"Pak Suryono berselingkuh dengan Bu Ani."

Sontak aku tersedak, semburan air keluar dari mulutku. "Ka-kamu bilang apa?" ujarku gelagapan.

"Kamu tidak tuli, Anonim. Bersihkan air yang menetes di dagumu. Kamu ini jorok sekali!"

Aku langsung membersihkan sisa air pakai ujung lengan gamisku. "Kamu tidak berbohong?"

Putri mendelik. "Aku tidak suka menjadikan kisah hidup orang lain sebagai lelucon."

Aku hanya bisa mengangguk lemah. Jadi laki-laki itu korban broken home? Dia terlihat baik-baik saja selama ini.

"Perselingkuhan ayahnya membuat dia sangat terpukul. Sejak saat itu dia kehilangan senyuman, atau mungkin dia baru saja menunjukkan diri yang sebenarnya. Entahlah, aku tak tahu. Abdullah itu bagaikan labirin, kalau kamu tak mengenalnya dengan baik, maka kamu akan tersesat. Bersamanya kadang membuatmu merasa dilimpahi cahaya, namun suatu waktu dia akan menyeretmu ke dalam kegelapan yang tak berujung. Dia terlalu misterius."

Aku masih diam, mencerna setiap kata yang terlontar dari lisan Putri. Aku setuju dengan pernyataannya tentang Abdullah. Pemuda itu memang membingungkan. Mungkin tak ada yang benar-benar tahu apa yang dia pikirkan.

"Sampai suatu hari aku melihatnya tersenyum. Senyuman yang tak biasa, dan kamu ... adalah penyebabnya."

Aku mengernyit. "Aku? Apa maksudmu?"

"Kuliah perdana semester ganjil. Saat kamu memperkenalkan diri di hadapan kami semua dan menjawab pertanyaan Pak Robert dengan sanggahan konyol."

Aku mengusap lengan risih. Sorot mata Putri sungguh tidak enak dilihat. Seolah apa yang kulakukan saat itu salah.

"Aku merasa senang dan kesal disaat bersamaan. Aku senang karena setelah hari itu, dia kembali seperti dulu. Maksudku, dia kembali menunjukan kepeduliannya, meski aku tak tahu itu nyata atau sekadar ilusi. Aku merasa kesal karena diriku bukanlah sebab atas perubahannya."

Aku mengernyit bingung. "Maksudmu?"

Putri menghembuskan napas keras. Dia menunduk, lalu tiba-tiba kedua pipinya bersemu merah. Putri memiliki kulit yang putih bersih, jadi sangat mudah menemukan warna lain yang timbul di kulitnya.

Aku semakin heran dibuatnya. Kalau tidak salah, ekspresi semacam ini akan muncul bila pemiliknya merasa malu. Tidak ada yang aneh dengan ucapannya barusan. Dia kenapa?

"Kamu sehat?"

"Tentu saja!" sahutnya ketus.

"Terus kenapa mukamu memerah?"

Putri berdehem. "A-aku," dia berubah jadi gagap.

"Kamu kenapa?"

"Aku suka Abdullah!" teriaknya sambil menutup wajah menggunakan kedua tangan.

"Ooh ..."

"Oh? Kenapa ekspresimu biasa saja?" tanya Putri seraya menurunkan tangannya.

Aku menyengir lebar. "Kupikir hanya aku yang menyukainya, tapi ternyata kamu juga. Sebenarnya ini hal wajar, mengingat kamu adalah sepupunya."

"Kamu suka juga padanya?"

"Tentu. Dia adalah temanku, meski akhirnya dia menghilang begitu saja."

Putri menggeram. "Ini berbeda, Anonim! Aku menyukainya sebagai laki-laki, bukan sepupu. Bisa kukatakan kalau ini rasa cinta," terangnya malu-malu.

Aku mendongak ke atas, menghembuskan napas ke udara. Kenapa malah membahas cinta? Tadi aku ke sini ingin tahu informasi tentang Abdullah, kan?

"Wajar kalau perasaan seperti itu muncul, karena dia seorang laki-laki. Akan lain cerita bila kamu mencintai Kak Risa."

"Yak! Anonim!" teriaknya kesal sembari melemparkan bantal sofa ke arahku. Dengan gerakan cepat aku langsung menangkapnya, kemudian tertawa geli. Ternyata melakukan hal-hal normal layaknya kehidupan remaja yang sering kutemui dalam karya fiktif cukup menyenangkan.

"Kamu sungguh menyebalkan," dengusnya.

Aku mengedipkan salah satu mata. "Kalau ingat, kamu belum mengatakan apa yang mau kudengar, Putri."

"Apa?"

"Kenapa dia berhenti kuliah? Dan dia pergi ke mana?"

Putri berdehem. "Dia tidak berhenti, hanya integrasi. Pindah ke salah satu kampus yang ada di Makassar."

Aku terkejut. "Maksudmu dia ada di Makassar?"

"Iya, tapi aku tidak tahu alamat lengkapnya. Tak ada seorang pun yang tahu. Sesampainya di sana, dia hanya mengirimkan gambar suatu universitas. Lalu setelah itu, dia menghilang. Nomor ponselnya juga tidak aktif."

"Kenapa harus di Makassar?"

"Mungkin ikut ibunya. Kabar terakhir yang kudengar ibunya menikah lagi," jawab Putri sendu.

"Kamu sudah coba menghubungi ibunya?"

Putri menggeleng. "Dia hilang kontak setelah perceraian itu. Aku tidak tahu kalau Abdullah masih berhubungan dengan ibunya."

Aku diam. Terasa ada yang menjanggal dengan penjelasan Putri. Kalau memang begitu, kenapa dia memutuskan untuk kuliah di sini? Mengapa tidak sejak awal dia ikut bersama ibunya?

"Kenapa dia pernah memilih untuk kuliah di sini?"

Putri menatapku lama, lalu dia menggeleng lemah. "Aku tak tahu."

-TBC-

A/N: Bisakah kalian menebak ending cerita ini? Yuk, komen di sini. Jangan lupa tinggalkan jejak ya, guys. 😊

Umul Amalia,

29 Desember 2017.

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang