Aku berjalan memasuki ruang kelas sembari menyampirkan sebuah jaket di pundakku. Kelas masih kosong melompong karena belum ada seorang pun yang datang. Aku mendudukkan diri pada bangku deretan paling depan, tepat di depan meja dosen.
"Hei!"
Aku tersentak kaget begitu ada yang menyeruku dari belakang. Segera aku memutar tubuh dan menemukan Putri berdiri tak jauh dariku.
"Kenapa kamu cepat datang?" tanyanya seraya duduk di belakangku.
Dia sudah tidak marah? Kenapa dia bertanya padaku? Apa pula urusannya aku mau cepat datang atau tidak.
"Kamu sendiri?"
"Aku bertanya dan kamu balas bertanya."
"Pertama, aku memiliki hak untuk bertanya. Kedua, aku telah menjawab pertanyaanmu dengan pertanyaan. Jadi, aku tidak sedang mengabaikanmu."
"Terserah kamu saja!" Putri mengibaskan tangannya seolah mengusirku.
Dia ini kenapa? Dia yang menyapa lebih dulu tapi dia juga yang mengusirku. Lagipula, kelas ini bukan miliknya. Setiap akademika fakultas sastra bebas untuk menggunakannya. Kenapa dia sibuk mengurusiku? Apa jangan-jangan dia mempunyai rencana tertentu. Aku tidak boleh berburuk sangka.
"Assalamualaikum Putri dan selamat pagi Anonim."
Sontak kami berdua menoleh begitu mendengar ucapan salam dari seseorang.
"Waalaikumsalam, Abdul. Kamu sudah datang?" Putri tersenyum ramah pada laki-laki yang baru saja muncul.
Kenapa putri memanggilnya Abdul? Namanya 'kan Abdullah. Seharusnya dia tidak boleh memenggal nama orang sesuka hati. Apa Putri adalah orang tua angkat Abdullah? Pikiran macam apa itu.
"Kenapa kamu geleng-geleng kepala?" tanya Putri seraya mengerutkan dahi.
"Ini kepalaku bukan kepalamu. Apa kamu mau mengikutiku?"
Putri menganga lebar setelah mendengar perkataanku. Dan aku tidak mempedulikannya. Terserah dia mau berekspresi seperti apa.
Aku kembali fokus memperhatikan Abdullah. Dia duduk di bangku seberang deretan paling depan. Orang itu sedang asik membaca sebuah buku tanpa mempedulikan kehadiran kami. Kalau putri tidak masalah. Tapi, di mengabaikanku? Aku 'kan temannya.
"Abdullah, kenapa kamu duduk di situ?"
Abdullah menutup bukunya, lalu menoleh padaku.
"Ini tubuhku bukan tubuhmu. Apa kamu mau mengikutiku?"
"Pffft..." kudengar Putri menahan tawa.
Apa yang lucu? Aku tidak menemukan sesuatu yang lucu dari perkataan Abdullah. Dia mengatakan sesuatu yang benar. Aku bertanya karena memang berencana duduk di dekatnya.
"Iya." Aku mengangkat tas dan berjalan menghampiri Abdullah.
"Hei! Kamu itu tidak tahu malu, ya?"
"Malu adalah suatu kata yang digunakan untuk menggambarkan perasaan tidak enak hati karena berbuat sesuatu yang kurang baik atau perasaan segan karena ada rasa hormat. Apa jawabanku memuaskanmu?" Aku tersenyum singkat pada Putri.
"Iya aku puas! Karena aku tahu bahwa kamu tidak punya malu," sahutnya ketus.
"Aku punya malu tapi tidak terlihat. Memangnya kamu bisa melihat rasa malumu?" Aku memandangnya bingung.
Malu berbentuk sebuah rasa bukan sejenis benda yang bisa diamati oleh mata. Wajar bila dia tidak bisa melihat rasa malu.
"Huft, aku bisa gila karena berbicara denganmu," timpal Putri sembari mengusap wajahnnya.
"Mau aku sarankan sebuah RSJ?"
"Yak!! Jangan berbicara denganku!"
Aku hanya mengedikkan bahu tak acuh. Tadi dia yang semangat mengajakku ngobrol, sekarang dia justru berteriak melarangku. Padahal aku hanya berniat baik untuk menyarankan RSJ terdekat agar dia tidak perlu mengeluarkan ongkos transportasi.
"Abdullah." Aku berdiri di depan mejanya.
Abdullah mendongak singkat lalu kembali menunduk.
"Kamu marah padaku?"
"Aku tidak punya alasan untuk marah."
"Kalau tidak marah, kenapa kamu bersikap begini?" Aku memandangnya heran.
Abdullah menghembuskan napas kuat, kemudian dia bangkit dari kursinya. Lalu, menatapku lama.
"Mana jeketku?" ujarnya sembari menengadahkan tangan.
"Ini." Aku tersenyum seraya menyerahkan jaket padanya.
Abdullah mengangguk, kemudian keluar dari bangkunya dan berlalu dari hadapanku. Dia melenggang keluar dari kelas.
Aku melongo.
Dia hanya mau mengambil jaketnya?
"Abdullah! Kamu mau ke mana?"
Dia menghentikan langkah dan berbalik ke arahku. "Toilet. Kamu mau ikut?" tanyanya sembari mengangkat alis.
"Aku tidak kebelet. Kamu pergi sendiri saja!"
Dan dia pun pergi meninggalkan aku.
"Astaghfirullah." Kudengar suara Putri mengucap istighfar.
"Apa kalau kebelet, kamu mau mengikuti Abdullah?" tanya Putri dengan wajah tidak percaya.
"Tentu saja. Memangnya kenapa? Kamu mau ikut juga?"
"Hei, dia itu laki-laki dan kamu perempuan. Yang benar saja!" Putri menatapku sinis.
"Terus? Toilet di gedung ini adalah milik umum. Toilet laki-laki dan perempuan terletak di ruangan yang sama. Sepertinya kamu melupakan fakta itu."
Putri malah mengumpat kasar, padahal aku sudah berbaik hati mau repot menjelaskan padanya. Apa dia tidak tahu cara berterimakasih? Mungkin itu sebagai ungkapan rasa terimakasih namun dia terlalu malu untuk berucap.
"Aku yang aneh atau kamu?"
Aku? Orang aneh? Kurasa bukan.
-TBC-
A.N: Part ini sengaja cepat update spesial untuk my sista @titinuswatunkn yang sedang berulang tahun :) makasih sudah jadi pembaca setia (meskipun berkat paksaan) :D
NP follow ig-ku dong @umulamalia_ difollback kok asal sebutin nama wattpad :) #sokpentingbeutt
25 September 2017.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anonim | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Ini tentang Anonim yang berusaha menemukan makna hadirnya di dunia. Lewat tiga pertanyaan besar yang selalu menghantui pikiran. Dari mana manusia berasal? Apa tujuan hidup di dunia? Setelah meninggal, ke mana manusia akan pergi? Su...