32. Fakta Satu

1K 154 29
                                    

"Antara aku dan dia," aku menghembuskan napas secara perlahan, "mana yang lebih dekat ... denganmu?"

Dan tepat setelah itu, kulihat Abdullah mengangkat wajahnya, mendongak. Tatapannya tepat tertuju ke arahku. Dia menggeleng seraya memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Wajahnya yang tadi sumringah seketika berubah menjadi datar.

"Sudah pasti," Abdullah menggantung kalimatnya.

"Risa,"

Kemudian berlalu tanpa memberikan penjelasan apapun.

Aku memandangi punggung Abdullah yang semakin menjauh.

Kenapa ia selalu berusaha menutupi segala hal tentangnya? Dia seolah melarangku untuk memasuki hidupnya.

Aku menghembuskan napas kuat sebelum akhirnya berlari mengejarnya yang nampak hendak menuruni anak tangga.

Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan? Jika tak mengizinkanku untuk mengenal dirimu, maka setidaknya biarkan aku agar tahu orang seperti apa yang ada di sekelilingmu.

Kenapa dia begitu tertutup? Bukankah kami adalah teman? Dan yang aku tahu, teman saling mengenal satu sama lain.

"Hei!" Dengan sengaja aku menahan pergelangan tangan Abdullah yang saat itu hampir berpijak pada anak tangga. "Ada apa denganmu?" seruku sambil mengatur ritme pernapasan.

Abdullah berhenti, ia menoleh. "Lepas," ujarnya datar.

"Tidak, sebelum kamu menjawab pertanyaanku."

Abdullah mengangkat sebelah alisnya, lalu tanpa kuduga dengan cepat dia menyentak tangannya hingga terlepas dari cekalanku.

Aku mendesis. Betapa tidak adil karena kekuatannya jauh lebih besar dariku.

"Kenapa kamu ingin tahu?" tanyannya sembari menghadap sempurna ke arahku.

"Kamu pikir aku akan membiarkanmu terlibat dalam hidupku tanpa tahu siapa kamu sebenarnya?"

"Hanya itu?"

"Memangnya apa yang kamu harapkan?"

"Kamu benar-benar keras kepala," tandasnya.

"Kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku. Apa itu memberatkanmu?" tanyaku pelan tatkala mendapati wajahnya yang terlihat enggan.

"Baiklah."

Aku tersenyum senang.

"Di mana alamat rumahmu?" Aku memiringkan kepala, "ah ... bukan itu, aku yakin kamu pasti akan menjawabnya bumi Allah. Aku ganti pertanyaannya!"

Abdullah hanya terkekeh.

"Apa hubunganmu dengan Risa?"

Abdullah memicingkan mata. "Apa urusanmu?" sahutnya terdengar tidak suka.

"Seperti kamu yang sering mengurusi hidupku. Lalu apa salahnya, bila aku melakukan hal serupa?"

"Kami sepupu, dia anak dari saudara ayahku," timpalnya datar.

"Hah? Benarkah? Kupikir kalian memiliki hubungan yang cukup dekat?"

Abdullah mendongak, tangannya bergerak cepat mengetok jidatku menggunakan penggaris panjang yang entah sejak kapan ada dalam genggamannya. "Memangnya apa yang kamu pikirkan?"

"Aw," ringisku sembari menyentuh dahi.

Aku harus mendongak untuk mensejajarkan pandangan dengannya, untuk beberapa detik kami saling bertatapan, aku mengerucutkan bibir sebal, lalu tak lama kemudian suara tawa terdengar mengudara.

Suasana macam apa ini?

Aku berdehem. "Oiya, kemarin Risa mengatakan sesuatu yang aneh. Dia bilang, mungkin suatu saat nanti aku harus memanggilnya kakak."

"Aneh apanya? Wajar saja dia bilang begitu, Risa tiga tahun lebih tua dari kita. Dia angkatan 2010."

Mulutku terbuka, bola mataku melebar, aku berkedip tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Tapi, dia masih sangat muda. Kupikir kita seumuran." Akhirnya aku menemukan suaraku.

Abdullah mengulum senyum. "Baby face."

"Itu tandanya dia akan wisuda sebentar lagi? Pantas saja aku tidak pernah melihatnya berkeliaran di gedung ini. Sepertinya dia sibuk mengurus skripsi."

"Apa maksudmu? Terang saja kamu tak akan pernah melihatnya di sini. Dia itu mahasiswa Fisika. Aku penasaran sebenarnya apa saja yang kalian obrolkan."

"Hah?"

Aku menggaruk rambut. Wajar bila aku tak tahu apa pun tentangnya. Apabila bertemu, Risa hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan dariku saja. Dan, aku tak pernah mempertanyakan perihal pribadi tentangnya.

"Satu hal lagi, kurasa kamu juga belum tahu kalau Risa adalah kakak kandung Putri."

"Apa?!!"

Oke. Dari sekian banyak informasi yang dia sampaikan, inilah yang paling mengejutkan. Benarkah keduanya bersaudara? Kenapa pribadi mereka sangat berbeda? Risa dengan gaya anggun dan kelembutannya. Sedangkan Putri dengan wajah jutek dan mulut sadisnya. Ahh, sudahlah. Tidak usah dilanjutkan.

"Tidak usah berteriak. Apa sekarang rasa penasaranmu terpuaskan?"

Aku hanya mengerjap sebagai jawaban.

"Sekarang giliran aku yang bertanya, apa kamu sudah mempersiapkan diri untuk ujian? Pekan depan kita mulai UAS."

"Oh! Kayaknya kacamataku tertinggal di dalam kelas. Aku pergi dulu ya, bye!"

Tanpa menunggu respon, aku langsung membalikkan badan, kemudian berlari menjauh darinya.

"Hei! Kamu sedang pakai kacamata, dasar!"

Sontak aku langsung menepuk jidat sambil tertawa geli.

-TBC-

Umul Amalia,

07 Desember 2017

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang