"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Raka?!
"Ini 'kan rumahku, apa salahnya?" suara Putri terdengar ketus.
"Kamu tidak salah mengajak dia ke sini?" tanya Raka sambil menunjuk ke arahku.
"Kenapa? Mulai sekarang kami berteman," sahut Putri santai.
"Kamu dan dia?" Raka tertawa sinis. "Terserahmu saja," ujarnya sambil mengibaskan tangan. Kemudian pergi dari hadapan kami.
"Hei, Raka!" seruku sebelum dia menjauh.
Raka berhenti, menoleh ke belakang. "Apa?"
"Namaku Anonim, bukan dia."
Putri tertawa kecil. "Kamu membuatnya semakin kesal."
Aku tersenyum kecut. Laki-laki itu tak pernah terlihat mau beramah-tamah padaku. Apa salahku? Dia seolah bersikap antipati terhadapku. Seperti aku akan berbuat jahat saja.
"Putri," panggilku ragu.
"Hm?"
"Apa yang Raka lakukan di sini?"
Putri terdiam. Tangannya bergerak mengambil bingkai foto yang tadi berada di pangkuannya. Kemudian dia memberikan bingkai tersebut padaku.
Aku langsung menerimanya. Kuamati gambar di dalamnya dengan saksama. Tiga orang anak kecil berusia sekitar sepuluh tahun tengah bermain. Dua laki-laki dan satu perempuan. Dilihat dari ekspresi si gadis kecil, sepertinya ada perdebatan di antara mereka. Entah ini hanya perasaan belaka, tapi wajah ketiganya terasa familier. Tunggu! Bukankah ini?
Aku mendongak. Memberi isyarat padanya agar mau menjelaskan maksud dari foto ini.
Putri mengangguk. "Aku, Abdullah, dan Raka. Kami sudah bersama sejak kecil. Raka adalah sepupu dari ayahku, sedangkan Abdullah sepupu dari ibuku. Itu foto saat kami kelas enam. Soal Raka, dia memang tinggal di sini."
"Huh?!"
Aku tak mampu berkata-kata. Bingung harus menanggapi seperti apa. Putri dan Raka tinggal bersama? Sebenarnya ini merupakan sesuatu yang wajar bagi sesama keluarga. Tapi, mengapa bisa? Satu kemungkinan terlintas dalam benakku.
"Apa Raka datang dari kampung? Dia merantau ke kota untuk sekolah?"
"Hah?!" Putri tertawa kencang. "Kamu ini ada-ada saja," ujarnya geleng-geleng kepala.
Aku menggaruk pipi. Pantas saja Putri tetap menutup aurat meski di dalam rumah. Ternyata ada laki-laki asing yang tinggal di rumahnya. "Lalu?"
Putri tersenyum sambil menggeleng pelan. "Kita tidak ke sini untuk membahas Raka, kan? Berubah pikiran lagi, eh?"
"Ah ... tidak, tidak!" sahutku cepat.
Putri terkekeh. Aku terkesima. Ternyata kalau berwajah cerah dia nampak lebih bersahabat.
"Anonim, sebelum aku menjelaskan tentangnya, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu," ucap Putri, wajahnya berubah serius.
"Apa?"
"Apa tujuanmu mencari Abdullah? Kenapa? Apa dia berarti untukmu?"
Aku diam. Mencoba mencerna pertanyaannya. Meresapi ke dalam hatiku. Apakah dia berarti untukku?
Tiba-tiba aku teringat kembali akan tulisan Abdullah kala itu. Tentang dia yang memintaku menemukan dirinya.
Kilasan memori dalam otakku berputar menuju hari saat aku merasa terluka sebab kepergiannya yang tanpa kabar.
Tentang Ibu yang datang menenangkan aku. Juga tentang Ibu yang mengatakan bahwa Ayah ada di dalam hatinya. Kucoba merangkai segalanya untuk menemukan sebuah jawaban.
"Hei, jangan melamun!"
Aku tersentak. "Aku hanya sedang berpikir," gumamku sembari mengulum sebuah senyuman.
Aku belum bisa memastikan sesungguhnya bagaimana spesifikasi arti Abdullah bagiku. Aku juga belum memahami mengapa aku merasa begitu kehilangannya. Tapi, satu hal yang aku tahu bahwa aku membutuhkannya.
"Jadi? Kamu sudah menemukannya?"
Aku mengangguk, kemudian meletakkan tangan di dada. "Di sini, di dalam hatiku. Aku membutuhkannya, karena itu aku ingin tahu keberadaannya. Dia adalah teman pertama, guru pertama yang membantuku menemukan diri sendiri, serta orang pertama yang berlaku normal terhadapku. Dia berhasil mengisi separuh kekosongan di dalam sana."
Putri menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu membutuhkannya sebagai apa? Apa sama dengan yang kurasakan?"
Aku tertegun. Tak menduga Putri akan menanyakan hal seperti itu. "Aku tidak tahu. Aku hanya merasa butuh, kami berteman. Itu saja."
"Sebagai teman? Hanya itu?"
"Tolong jangan memaksa, aku bingung," ujarku sambil menunduk.
Terdengar helaan napas Putri. "Baiklah, aku tidak akan mendesakmu. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia tak salah mengambil keputusan."
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak tahu kenapa dia mau melanjutkan kuliah di sini, bila akhirnya dia berhenti dan memutuskan untuk mengikuti ibunya."
"Ibunya?"
"Tolong jangan menyela, aku ingin menceritakan sebuah kisah padamu. Juga membuat suatu pengakuan."
-TBC-
A/N: foto bukan visualisasi mereka. Itu hanya cara agar kalian lebih mengerti :)
Apa komentarmu setelah membaca chapter ini? 😊
Umul Amalia,
29 Desember 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Anonim | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Ini tentang Anonim yang berusaha menemukan makna hadirnya di dunia. Lewat tiga pertanyaan besar yang selalu menghantui pikiran. Dari mana manusia berasal? Apa tujuan hidup di dunia? Setelah meninggal, ke mana manusia akan pergi? Su...