19. Lamaran?

1.2K 171 25
                                    

"Kenapa kamu ketawa?" tanyaku dengan kening yang berkerut.

Dia selalu melakukan hal-hal yang membingungkan.

"Begini, Anonim. Antara aku dan kamu sama sekali tidak ada hubungannya. Kalau kamu ingin mengenal dirimu, lakukanlah dengan cara yang benar. Aku tidak bisa membantumu. Tapi, jika ingin mengenal dirimu, setidaknya kamu harus mengenal Tuhanmu terlebih dahulu. Dari mana kamu berasal? Itulah yang akan menjadi penentu kehidupanmu selanjutnya."

"Tapi kita adalah teman. Kamu sendiri yang dulu bilang seandainya aku membutuhkan bantuan, aku bisa memintamu. Lalu, kenapa sekarang kamu menghindar? Kamu mengingkari janjimu."

Aku tidak akan seperti ini bila dia tak pernah mengucapkan kalimat itu. Segalanya berawal dari sana. Kemudian tanpa sadar aku mulai bergantung padanya. Sialnya, aku baru menyadarinya sekarang.

"Pertemanan tidak lantas membuat kita bisa berinteraksi dengan bebas. Seperti yang kamu tahu, kita berdua bukan mahram. Akan berbahaya kalau aku dan kamu terlalu sering bersama. Sebaiknya kamu mencari seorang perempuan untuk menjadi temanmu, yang akan membantumu mengenal diri sendiri."

"Baiklah, kalau begitu." Aku membuang muka karena merasa kesal.

"Apa?"

"Aku mau menjadi mahram bagimu."

"Kamu melamarku?" sahutnya dengan wajah datar.

Eh? Melamar? Maksudnya mengajak untuk menikah. Begitu?

"Kamu sungguh tidak tahu apa-apa, ya? Agar menjadi mahramku, maka kamu hanya punya dua pilihan. Mau jadi ibu tiriku? Atau ... istriku?" Dia mengerutkan dahi hingga kedua alisnya hampir menyatu.

"Eungh ... uhm." Aku menggaruk rambut.

Masa iya, aku jadi ibu tirinya? Kalau anaknya saja sudah seusiaku, bagaimana dengan ayahnya? Belum lagi tentang kemungkinan, apabila dia ternyata merupakan anak bungsu dalam keluarganya. Aku tidak bisa membayangkan setua apa ayahnya. Meski tak yakin akan menikah nantinya. Namun aku tidak pernah bermimpi akan menikah dengan sesepuh. Please aku masih 18 tahun.

Aku menyesal karena sudah mengucapkan kalimat itu.

Apa yang harus kulakukan? Rasanya aku ingin menghilang saat ini juga.

Apa aku kabur saja?

Aku mundur pelan-pelan, kemudian memutar badan, dan tanpa menunggu lama, aku langsung berlari.

"Jangan lari," ucapnya sembari menarik tas yang terpasang di punggungku.

"Lepas, aku kebelet pipis." Aku menggerakkan kaki sekuat tenaga. Tetapi percuma saja. Aku tidak beranjak barang satu senti pun karena dia masih menahan tasku. Apa maunya sih? Jangan-jangan dia mau memaksaku menikahi ayahnya. Aku tidak mau!!

Aku semakin bergerak cepat. Berusaha menjauhkan diri darinya. Tapi kurasa dia semakin mengencangkan pegangannya. Beberapa orang yang lewat bahkan memperhatikan kami. Namun Abdullah tak kunjung melepaskan cekalannya.

"Hei, lepaskan atau aku pipis di sini!"

"Silakan, aku akan tutup mata." timpalnya dengan nada yang teramat santai.

Aku mendesis.

Seharusnya aku mencari alasan yang lebih masuk akal. Aku tidak tahu bagaimana cara melepaskan diri dan pergi dari sini.

"Aku tidak mau menikah dengan ayahmu," embusku akhirnya.

Dan dia malah tertawa renyah.

Kurasakan pegangannya mengendor. Perlahan tapi pasti dia menjauhkan tangannya dari tasku.

"Apa tandanya kamu mau kalau itu aku?"

Aku tertegun. Lama aku terdiam dan tak bereaksi.

Lalu, saat aku berbalik ke arahnya, ternyata dia sudah menghilang.

Aku melongo.

-TBC-

22 Oktober 2017

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang