4. Bukan Lelucon

1.9K 232 23
                                    

"Hoossh, hossh ..." Aku berjongkok guna meredakan rasa lelah yang menyerangku karena berlari menaiki anak tangga hingga mencapai lantai 3.

Pagi hari begitu aku membuka mata, aku baru sadar kalau ternyata jam di ponselku sudah benar. Namun, aku malah menganggapnya salah. Dan, di sinilah aku sekarang. Berdiri di depan kelas, bersiap mengetok pintu. Aku merapikan pakaian dan mengelap keringat yang menempel di dahiku. Kemudian aku mengetok pintu, lalu mendorongnya secara perlahan.

Aku tersentak kaget saat seorang perempuan tiba-tiba muncul di depanku. Dia adalah dosen yang mengisi mata kuliah pendidikan pancasila, namanya Bu Rana.

"Ada apa?"

"Saya mahasiswa di kelas ini," jawabku berusaha mengurangi rasa gugup.

"Benarkah? Siapa namamu?"

"Anonim."

"Apa?" Dia mengernyitkan dahi.

"Anonim, Bu. Absen nomor 2."

"Baiklah, mahasiswa tanpa nama. Silakan maju ke depan," perintahnya sembari melangkah mendahuluiku.

Aku mengikuti langkah kaki Bu Rana. Kurasakan banyak pandangan mengarah padaku. Aku bisa mendengar mereka saling berbisik membicarakanku. Ada apa dengan orang-orang di kelas ini? Kami sudah melalui 2 minggu perkuliahan tapi mereka belum terbiasa mendengar namaku. Padahal setiap masuk kelas dosen selalu melakukan presensi.

"Tanpa Nama." Bu Rana duduk dikursinya seraya memanggilku.

"Maaf, Bu. Saya memiliki nama, dan nama saya Anonim, bukan Tanpa Nama."

Aku sedikit tersinggung mendengar panggilannya untukku. Apa haknya memanggilku seperti itu? Orang tuaku sudah memberikan nama yang terbaik tapi dia malah menggantinya dengan sesuka hati.

"Saya hanya bercanda, Anonim." Bu Rana tertawa pelan.

Bercanda katanya? Identitasku bukan untuk dibuat bercanda. Aku bukan lelucon yang bisa mengundang tawa.

"Boleh aku tahu, kenapa namamu begitu?"

Pertanyaan Bu Rana mengundang kericuhan di dalam ruangan. Mereka memaksaku untuk menjelaskan filosofi dibalik nama Anonim.

Aku tersenyum.

"Tanpa mengurangi rasa hormat, aku ingin bertanya. Nama anda Ibu Rana, bukan?"

"Iya. Ada apa?" Tersirat kebanggaan dari nada suaranya.

"Boleh aku tahu, kenapa nama anda begitu?" Aku bertanya seraya menatap wajah Bu Rana.

"Wahh ... hebat!"

"Dia sangat berani!"

"Dia cari mati?"

"Dia itu bodoh, ya?"

"Apa dia tidak takut?"

Kelas yang sempat hening mendadak jadi ribut karena pertanyaanku. Aku menyapukan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Kulihat semua orang menatapku dengan raut wajah terkejut kecuali laki-laki yang duduk tepat di depanku. Seorang laki-laki yang bernama Abdullah. Dia memandangku dengan wajah datarnya.

"Bu!" Abdullah mengacungkan tangan.

Semua mata terfokus padanya.

"Kami juga ingin tahu filosofi nama anda," ucap Abdullah sembari tersenyum simpul.

"Setujuuu!!" Kompak semua mahasiswa berteriak.

Aku melirik Ibu Rana, wajahnya terlihat panik. Dia menyematkan rambut ke belakang telinga sembari tersenyum gugup. Semua itu tergambar jelas dari raut mukanya.

"Tolong tenang." Dia menggerak-gerakkan tangan kanannya membuat para mahasiswa diam seketika. "Nanti saja kita bahas soal nama. Sekarang kalian fokus ke depan, kita lanjutkan pelajaran. Sampai mana diskusi kita tadi?"

"Yaaah ... Buuu ..." sorak sorai memenuhi ruangan ini.

Bu Rana hanya tersenyum canggung menanggapi.

"Anonim, kamu boleh duduk."

"Baik, Bu." Aku tersenyum dan berlalu dari hadapannya.

Aku belum mengerti mengapa orang-orang memandangku dengan tatapan aneh kala aku menyebutkan namaku. Memang kenapa? Bila aku punya nama Anonim.

Aneh adalah suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang berbeda, tidak seperti biasanya, atau sesuatu yang ganjil. Benarkah namaku aneh? Bukankah kata "anonim" sering muncul dalam karya tulis dan dikenal oleh berbagai kalangan.

Aku berjalan menghampiri satu-satunya kursi kosong yang tersedia, lalu meletakkan tas di atas meja, kemudian duduk dengan tenang.

Aku mengerutkan kening saat orang yang duduk di sebelahku menyimpan selembar kertas di atas tasku.

"Lain kali, kamu harus meminta bantuan jika ingin membalas seseorang. Kamu tahu? Seekor predator takkan berani menyerang sekawan rusa. Ia hanya memangsa rusa yang memisahkan diri." Bunyi kalimat yang tertera di atas kertas itu.

Setelah membacanya, refleks aku menoleh ke kanan. Kulihat orang itu sedang fokus memperhatikan penjelasan dosen.

Apa maksudnya?

-TBC-

Nah? gimana? Yuk, jangan ragu ngisi kolom komentar :)

a.n 10 September 2017

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang