22. Merenungi Hidup

1.3K 159 14
                                    

Setelah kepergian Abdullah beberapa menit yang lalu, aku memutuskan untuk menetap di taman dan menikmati keindahan langit sore.

Burung-burung yang beterbangan di angkasa, semburat jingga kemerahan yang menyelimuti langit, serta hembusan angin yang membelai lembut rambutku. Betapa indahnya pesona bumi dalam bingkai senja.

Aku mengalihkan pandangan pada layar ponsel yang tertera sebuah kontak di dalamnya. Sebuah nama yang terdengar tak asing di telingaku.

Risa.

Risa yang dulu menjawab pertanyaanku? Bagaimana dia bisa mengenalnya? Apa hubungan mereka? Atau mungkin saja ini orang lain? Ada banyak yang memiliki nama serupa di dunia ini. Daripada penasaran, lebih baik aku segera menghubunginya.

To Risa: Hai.

Send!

Lama aku menunggu namun tak kunjung mendapat balasan. Karena bosan memandangi layar ponsel tanpa melakukan apapun, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Aku harus menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen.

Aku melangkah ringan sembari menatap jalan raya yang lengang. Cahaya orange yang merekah menelusup dari celah dedaunan sedikit menyapu wajahku.

Tiba-tiba aku merasa tergelitik untuk kembali merenungi tentang kehidupan yang akan kujalani.

Setelah lulus kuliah, apa yang akan aku lakukan? Mencari pekerjaan? Lalu setelah aku mendapatkan pekerjaan, apa lagi? Menikah?

Aku menggeleng. Berusaha menyingkirkan perkara pernikahan dari otakku. Siapa juga yang mau menikah dengan orang pemilik nama unik sepertiku?

Sebenarnya apa yang paling kuinginkan dalam hidup ini? Sukses?

Kesuksesan yang seperti apa?

Bagaimana kriteria kesuksesan yang sesungguhnya?

Bukankah setiap manusia memiliki standar sendiri.

Misalnya, seorang selebgram. Ia dikatakan sukses apabila mempunyai jutaan followers dan mampu meraih ribuan like dalam satu kali postingan.

Lantas aku apa? Aku sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya kuinginkan. Bagiku semuanya sama saja. Dengan atau tanpa kesuksesan, orang-orang akan selalu memandangku aneh. Memperlakukan diriku seolah alien yang nyasar ke bumi.

Sejak dulu, mereka hanya berinteraksi denganku bila ada sesuatu yang amat penting dan mendesak. Itu pun mereka lakukan dengan wajah tidak rela.

"Huft ..."

Perkuliahan sudah berjalan hampir satu semester. Namun aku belum merasakan perubahan yang signifikan. Baik dari sisi pribadi, maupun respon orang lain terhadapku.

Padahal para senior pernah mengatakan bahwa kehidupan kampus sangat berbeda dengan sekolahan. Sekarang aku meragukan ucapan mereka saat pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru (PKKMB) dulu.

Tugas semakin bertambah banyak, tidak ada seragam khusus, sebutannya mahasiswa, pengajarnya adalah dosen, dan lain sebagainya.

Itukah yang mereka maksud?

Secara umum tak ada yang berbeda. Kecuali kenyataan, bahwa kini aku mempunyai seorang teman. Setidaknya ada yang bisa kumintai tolong selain orangtuaku, kan?

Apa pula yang harus kuperbuat untuk mengisi waktu luang dalam masa perkuliahan? Nonton? Belajar? Internetan?

Aku tersenyum datar.

Ternyata hidup yang kujalani sungguh flat dan monoton. Terlalu monoton hingga membuatku lupa bagaimana rasanya bosan.

Aneh, bukan?

Hampa, kosong, sepi, gelap. Aku tak mampu melukiskan perasaan yang ada dalam benakku. Ia terlalu kelabu untuk sanggup terindera oleh qalbu.

Apa yang sudah kulalui sepanjang 18 tahun usiaku? Rasa sakit.

Dikucilkan, dihina, diremehkan, diabaikan, dipandang sebelah mata, dan berjuta rasa sakit lainnya. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya tersakiti. Aku tidak mampu untuk mendeskripsikannya. Sudah terlalu sering hingga aku merasa terbiasa.

Gadis aneh berteman luka.

Mungkin itu julukan yang tepat buatku.

"Eh?"

Aku menyentuh pipiku, setetes cairan bening mengalir dengan lembut membasahi jemariku. Jantungku berdenyut nyeri seperti ada sebuah tangan kasar yang meremasnya.

Aku menunduk.

Bagaimana bisa? Setelah sekian lama, akhirnya cairan ini muncul lagi.

Kapan terakhirnya? Aku sudah lupa.

Akan tetapi, nampaknya hatiku takkan lupa betapa jutaan panah lara pernah menancap dengan sangat kuat hingga menghancurkannya.

Aku masih melangkah pelan.

Setetes demi setetes cairan itu berjatuhan hingga menyentuh ujung sepatuku.

Aku mendongak, kemudian menghembuskan napas secara perlahan.

"Hahh ..."

Tuhan.

Akankah rasa sakit ini berakhir?

-TBC-

01 November 2017

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang