Siang menjelang, sinar terik sang surya tak menyurutkan semangat para pengunjung untuk menikmati wahana yang telah disediakan di Jawa Timur Park.
Aku berlari kecil menghampiri Ayah dan Ibu yang sedang istirahat di gazebo. Mereka nampak asik mengobrol sambil sesekali saling melempar senyuman.
Aku turut tersenyum menyaksikan keharmonisan mereka, diusia yang tak lagi muda keduanya masih sering menunjukkan kemesraan.
Kuharap, suatu saat nanti aku bisa seperti mereka.
"Apa yang kupikirkan sih," gumamku sambil menepuk jidat.
Jangankan pasangan hidup, teman pun aku hanya punya sedikit. Satu laki-laki dan satu perempuan. Bahkan teman yang kumiliki juga berniat pergi.
Tiba-tiba rasa takut menelusup ke dalam dadaku. Rasa takut kehilangan mencengkeram hatiku begitu kuat. Aku merasa khawatir untuk sesuatu yang belum nyata adanya.
Bukankah setiap simpul, pasti akan putus bila tiba masanya?
Setiap pertemuan, pasti akan menemui perpisahan.
Semua yang berawal, pasti akan berakhir.
Itu sudah hukum alam. Tak ada yang abadi di dunia ini.
Kesedihan selalu menjadi melodi bagi setiap hati yang tersakiti akibat perpisahan.
Lantas untuk apa repot membuat suatu aliansi yang tak abadi?
Aku mengerjap, lamunanku buyar tatkala mendengar suara seseorang menegurku.
"Jangan jalan sambil melamun."
"Oh, Ayah!"
"Kenapa kamu sering melamun, hm?" Ibu menarik tanganku agar duduk di sebelahnya.
Aku menggaruk kepalaku yang terlapisi kerudung. "Bukan apa-apa, Bu."
"Apa lagi yang mengganggu pikiranmu?" timpal Ayah seraya menyodorkan piring plastik ke arahku.
Sekarang kami sedang beristirahat usai menjelajahi berbagai macam wahana. Duduk di atas gazebo yang disediakan sembari menikmati bekal makan siang yang sudah disiapkan Ibu dari rumah.
"Apa tidak masalah kalau aku bertanya?" gumamku ragu. Aku tidak ingin mengacaukan momen ini dengan pertanyaan skeptis dariku.
Sontak Ayah dan Ibu tergelak.
"Sejak kapan kamu izin dulu kalau mau bertanya?" Ibu menyendokkan nasi ke dalam piring Ayah.
Aku mengerucutkan bibir mendengar pertanyaannya.
"Sepertinya dia memberi pengaruh besar terhadapmu," sambung Ayah.
Aku memiringkan kepala, menatap Ayah dengan pandangan bingung.
"Abdullah," sahut Ayah seakan memahami kebingunganku.
"Ayah kenal dia?"
Bagaimana caranya? Setahuku, Ayah tak pernah ada di rumah saat dia datang.
"Ibumu sering bercerita tentangnya."
Aku memicingkan mata, lalu menoleh pada Ibu. "Apa yang Ibu ceritakan tentang dia?"
"Dia orang pertama yang datang ke rumah kita dan mengaku sebagai temanmu. Lalu menyusul Risa setelahnya. Kuharap, suatu hari nanti banyak temanmu yang mau berkunjung."
Aku tersenyum miris mendengar kalimat terakhir Ibu. Entah aku harus mengaminkannya atau tidak.
Teman? Tak ada yang bisa diharapkan dari status semacam itu. Ia semu. Pada akhirnya hanya akan meninggalkan luka, jika terjadi perseteruan berujung perpisahan.
"Kenapa ekspresimu begitu?"
"Huh?"
"Tatapanmu kosong, Anonim. Sebenarnya apa yang senantiasa membuatmu terlihat linglung?" tutur Ayah dengan wajah yang serius.
Aku berdehem, kemudian mengulum sebuah senyuman. "Terlalu banyak misteri dalam hidup ini, Yah."
"Benarkah? Menurut Ayah hidup itu sederhana, kita saja yang sering membuatnya rumit. Pikiran-pikiran negatif dengan mudah merasuki otak kita sehingga tak jarang kita berprasangka buruk. Memandang dunia penuh kecurigaan."
"Coba katakan, apa lagi yang sekarang mengganggu pikiranmu?" lanjut Ibu.
Aku meletakkan piring di atas lantai gazebo. Tanganku bergerak mengambil botol di dekat Ibu. Lalu meneguk cepat air yang ada di dalamnya hingga hampir tak bersisa.
"Kenapa Ayah dan Ibu menikah?"
"Sudah pasti karena kami saling mencintai," sahut Ibu dengan kening yang berkerut.
"Hanya itu? Apa cinta bisa membuat kalian tetap bersama?"
"Bukan hanya cinta, tapi kepercayaan, kejujuran, dan hal baik lainnya. Semua itu bisa membuat hubungan bertahan lama."
Aku menggeleng. "Bukan begitu maksudku, kenapa manusia mau repot-repot menjalin suatu ikatan? Entah persahabatan, pernikahan, persaudaraan, atau sesuatu sejenisnya. Bukankah setiap simpul akan putus bila tiba masanya? Tak ada yang abadi. Perpisahan pasti meninggalkan luka tak terperi."
"Nak, memang tak ada yang abadi di dunia ini. Kita hidup hanya untuk sementara. Ibarat pengembara yang hanya sepintas lalu di setiap daerah yang dilewatinya. Walau demikian bukan berarti kita tidak perlu berinteraksi dengan orang lain. Kamu tahu sendiri bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas. Kita tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup seorang diri."
"Anonim tahu, Yah. Kalau begitu, kita hanya perlu berinteraksi sewajarnya. Kita lahir sendiri, hidup sendiri, pun akhirnya akan mati sendiri. Lalu mengapa kita harus merasa takut? Apa gunanya membangun suatu hubungan dekat?"
Mereka terdiam. Entah apa yang ada di pikiran keduanya saat ini. Kurasakan aura canggung menyelimuti kami. Aku sendiri bingung harus berbuat apa. Jika tahu akan begini jadinya, seharusnya aku tak perlu mempertanyakan hal itu meski mereka memaksa.
Aku menunduk. "Maaf kalau pertanyaanku menyebalkan," gumamku lirih sembari memainkan ujung kerudung.
"Anonim," panggil Ayah.
Aku mendongak.
Kulihat mata mereka berbinar, senyum merekah, dan wajah keduanya nampak cerah ceria.
"Hubungan dibangun untuk saling menguatkan dan mengingatkan. Tatkala pihak yang satu berbuat salah, maka yang lain bisa membenarkan. Kita juga bisa saling melengkapi kekurangan dengan kelebihan yang dimiliki setiap individu yang terikat di dalamnya. Memang tak ada yang abadi, tapi kamu bisa menjadikan suatu hubungan abadi. Bukan di dunia, tapi nanti di kehidupan selanjutnya. Di dunia tempat kita tinggal sekarang adalah wahana yang tepat untuk mengumpulkan teman yang bisa membantumu dihari kemudian."
"Bagaimana caranya?"
"Bertemanlah dengan mereka yang senantiasa mengingatkanmu tentang kebaikan dan ketaatan kepada sang Pencipta. Sungguh tiada suatu hubungan yang menguntungkan, melainkan persahabatan yang bisa menyelamatkan kita pada hari perhitungan."
"Bukankah hidup menjadi lebih berwarna saat ada orang lain yang mengisi kekosonganmu?" tanya Ibu.
"Lihat dirimu, Nak. Selama 18 tahun aku mengenalmu, baru kali ini kamu bertanya tentang suatu ikatan. Ini tandanya kamu peduli. Paham maksud Ayah? Artinya, siapapun dia yang menjadi temanmu telah memberikan perubahan yang berarti untukmu."
Aku tertegun.
Benar, dia memang berhasil membuat hidupku lebih berwarna.
Namun, setelah setelah hari itu, mungkinkah akan ada pertemuan kembali?
-TBC-
Umul Amalia,
17 Desember 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Anonim | ✔
Espiritual[Chapter lengkap] Ini tentang Anonim yang berusaha menemukan makna hadirnya di dunia. Lewat tiga pertanyaan besar yang selalu menghantui pikiran. Dari mana manusia berasal? Apa tujuan hidup di dunia? Setelah meninggal, ke mana manusia akan pergi? Su...