Seminggu berlalu, namun tak kulihat sosok Rido yang biasanya berkeliaran di sekolah. Kadang terlihat nongkrong dikantin, belajar di perpustakaan atau iseng lewat di depan kelasku.
Ada rasa aneh yang muncul bila tak melihat sosok nyebelin bin ngeselin itu. Rindu? Gak mungkin.
Terakhir kali aku melihat Rido sedang mengobrol dengan Dira.
Aku merapikan beberapa buku yang berserakan diatas meja, memasukkan ke dalam tas, tadi habis pelajaran biologi.
"Dressi, tadi gue liat sepanjang pelajaran lo ngelamun mulu, lagi mikirin apaan sih?" Ratna kepo lagi, ia bertanya padaku sembari berjalan disampingku, waktu itu sudah saatnya pulang.
"Gue gak lagi mikirin apa apa kok,"jelasku. Ratna sepertinya kurang puas dengan penjelasanku tadi.
"Ah gue tau, lo pasti lagi mikirin Rido kan,""Gak kok," jelas aku berbohong kali ini.
"Gue rasa nih ya Si Rido itu marah deh sama lo, gara gara si Rean yang ngaku pacar lo. Si Rido itu cemburu tau,"
"Gak mungkin.Udah ah, gue gak mau bahas dia," sambungku.Sesampai di depan gerbang, Ratna langsung di sambut oleh pangeran permennya, Wira.
"Gue duluan ya Dressi, bye," ucap Ratna sesaat sebelum motor itu melaju kencang dikendarai Wira.
Tinggal aku yang menunggu jemputan, biasanya bang Arjun gak pernah telat buat jemput, tapi udah siang begini, dia belum juga muncul.
"Dressila pulang bareng gue aja yuk,!" Ajak Rean yang tiba tiba muncul dengan mengendarai motor merahnya.
"Gue bisa pulang sendiri," jawabku singkat dengan nada agak ketus.
Males basa basi sama orang kayak Rean. Coba aja sikapnya manis dari dulu. Pasti gak kayak gini kan jadinya. Dulu aku memang suka dia tapi sekarang gak lagi.
"Serius lo gak mau pulang sama gue?"
"Ya, kan gue udah bilang tadi gue bisa pulang sendiri. Lo pulang aja sana,"
Dan dari arah belakang, muncul seseorang yang sudah seminggu ini tidak pernah kulihat, aku tersenyum, seperti ada dorongan dalam diriku untuk tersenyum.
Dia, Rido. Dengan motor hitam yang dikendarainya ia kemudian berhenti di samping kananku.
Jadi posisiku saat ini adalah ditengah-tengah dua cowok yang sedang duduk diatas motornya. Rean di kiri dan Rido di kanan.
"Lo pulang bareng gue," Ucap Rido sambil memandang tajam ke arahku. Dan ajakannya itu agak seperti paksaan. Aku maklum si adek kelas agak ganteng ini memang sifatnya kayak gitu.
"Enak aja lo main serobot aja. Dressila itu pulang bareng gue bukan lo," Rean turun dari motornya, Rido juga. Dan keduanya siap mengambil ancang ancang buat adu jotos.
"Udah, kalian itu kenapa sih, berantem mulu. Kayak anak kecil. Dan ya siapa bilang gue mau dianter pulang sama kalian berdua, gue lebih baik jalan kaki tau,"
"Kalo lo jalan kaki, gue jamin sampe rumah kaki lo bakalan bengkak. Udah lo sekarang naik motor gue, dan gue bakal anter lo pulang," ucap Rido, namun Rean sepertinya tak mau kalah ia juga bilang mau mengantarku pulang.
"Udah, biar gue aja yang anter Dressi,"
"Gue,"
"Gue,"
Ya elah buat pulang aja kok jadi ribet gini sih.
"Gue pacarnya Dressi jadi gue yang berhak buat anterin dia pulang, ngerti lo," sekali lagi Rean menyebutku sebagai pacarnya. Rido tak tinggal diam. Ia kini menatapku.
"Kalo lo bener pacaran sama Rean lo pulang sama dia kalo gak, lo pulang sama gue,"
Mungkin ini kesempatan buat menjelaskan hubungan aku dan Rean pada Rido. Aku kemudian mendekati Rean dan motornya. Aku sempat menangkap wajah kesal Rido saat aku mendekati Rean.
"Tuh kan apa gue bilang, dressila itu pacar gue," ucap Rean, namun ucapannya segera terbantahkan saat aku bilang.
"Sorry Rean tapi gue bukan pacar lo,"
Aku kemudian berbalik dan menaiki motor hitam milik Rido. Aku menangkap wajah yang kesal tadi berubah jadi tersenyum manis.
***
"Do, lo kenapa sih mau anterin gue pulang,?" Aku bertanya pada Rido yang kini sedang berkonsentrasi mengendarai motornya. Kali ini ia membawa motor itu dengan kecepatan sedang.
"Mau aja," jawabnya singkat
Aku juga sebenarnya ingin menanyakan kenapa Rido gak pernah muncul udah tujuh hari semenjak kejadian dikantin waktu itu. Tapi berhubung suasana hatinya udah baikan sekarang sepertinya gak usah lah.
Dan tepat saat ban motor hitam menginjak jembatan besar ini Rido bertanya padaku, "Lo pernah inget sesuatu gak tentang jembatan ini?"
Aku berpikir sebentar sambil
mengingat kejadian apa yang dimaksud Rido."Gue sering lewat jembatan ini sih, tapi... kayaknya gak ada yang beda deh. Jembatan ini masih sama kayak dulu,"
Rido memberhentikan motornya setelah sampai di sebuah bukit kecil yang letaknya cukup jauh dari jembatan yang dilewati tadi. Dari bukit itu rumahku juga masih jauh.
"Kenapa berhenti disini,? rumah gue kan masih jauh,"
Di bukit ini ada sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu yang masih kokoh.
"Duduk dulu,"
"Ada apa sih,?"
"Lo beneran gak inget tentang sesuatu yang pernah terjadi di jembatan itu tiga tahun lalu, mungkin lo pernah nolongin seseorang...?"
Aku mencoba berpikir mencoba mengingat kembali tentang kejadian yang dimaksud Rido, tiga tahun lalu yang berarti saat itu aku masih kelas tiga SMP.
"Oh ya gue inget,..."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Adek Kelas
Teen FictionRido si kelas sepuluh, selalu merasa risih bila dipanggil sebagai Adik oleh Dressila kakak kelasnya. Dressila sendiri sekarang sudah kelas dua belas. Entah apa yang membuat Rido enggan dipanggil sebagai adik. Setiap pertemuan mereka berdua selalu be...