"Lo?" Ucapku sambil mengarahkan telunjuk ke arah cowok yang kini menatapku tajam.
Kakak tingkat itu ternyata adalah Julian. Pantas waktu pertama kali melihatnya, walau dari balik punggungnya, aku sepertinya tak asing dengan dia.
"Kenapa?"
Dalam benakku, seharusnya tidak sulit untuk meminta tanda tangan Julian, yang menurutku dia adalah orang yang baik. Mungkin persepsi Widy yang bilang bahwa kating ini galak dan dingin adalah salah. Aku mencoba berfikir positif.
"Gue mau minta tanda tangan lo boleh?"
"Buat apa?"dia bertanya balik seakan tak paham apa maksud ku meminta tanda tangannya. Cowok itu melihatku dengan pandangan kurang mengenakkan. Aku sudah mulai was-was.
"Eh? Itu buat..."
"Gak boleh, tanda tangan gue mahal. Apalagi untuk orang yang suka telat kayak lo," ucapnya kemudian berlalu, meninggalkan aku yang kini berubah opini terhadapnya. Aku malah setuju dengan pendapat Widy tadi. Dingin plus galak.
Aku mengejar cowok itu. Memelas supaya ia dengan sukarela mencorat-coret kertas putih bersih yang kini kupegang erat dengan tanda tangannya. Hanya tanda tangan, gak lebih.
Cowok itu masih sok jual mahal. Lantas aku berfikir gak mungkin nih cowok kakaknya Rido. Dia itu sok dingin. Galak lagi. Suka ngebentak orang. Lain halnya dengan Rido.
"Please...," ucapku memelas. Cowok itu tetap saja tak peduli.
Aku terus saja berjuang untuk mendapatkan tanda tangan cowok rese itu. Bukannya apa-apa nanti kalo aku gagal mendapatkan tanda tangannya, aku bakal dihukum lebih berat lagi. Malah jadi lebih kacau.
"Oke, gue mau ngelakuin apa aja asal lo mau kasi gue tanda tangan, plis," ucapku memelas sekali lagi. Cowok itu kemudian berhenti. Berdiri sekitar dua setengah meter di depanku. Ia berbalik. Lantas menyunggingkan sebuah senyuman yang sulit diartikan.
***
"Kok kita kesini?" Aku bingung kenapa Julian mengajakku ke dalam kelas salah satu ruangan dekat aula kampus. Ruangan yang bertuliskan ruang D4.
"Lo sendiri kan yang bilang mau lakuin apa aja yang gue suruh. Dan permintaan gue adalah lo harus...."
Aku harap-harap cemas menanti apa yang akan diucapkan oleh cowok itu.
"Lo harus jadi pembokat gue selama sebulan penuh, ngerti?!!"
What?
Benar kata Widy cowok ini emang patut buat diwaspadain. Aku hanya bisa mengangguk pasrah dengan permintaannya itu.
"Emangnya ga bisa di tawar ya. Jangan sebulan deh dua minggu aja."
"Tawar? Emang lo kira beli beras di pasar bisa lo tawar-tawar hah," ia berkata agak keras, tapi gak terlalu keras. Tapi sukses membuat telingaku berdengung.
"Perasaan gue kemarin beli beras di pasar gak nawar deh, katanya bapak penjual sih harganya emang pas segitu," ucapku dengan sok polos membandingkan ucapan Julian dengan keadaan di pasar sebenarnya. Sebenarnya aku juga berniat melucu, tapi Julian malah membentak.
"Gak lucu!!"
Dan dua kata itu sukses membungkam mulutku.
***
Masih di ruang D4, Julian memberiku selembar kertas dan polpen. Entah apa yang akan di lakukan cowok ini."Buat apa?" Aku mengambil kertas dan polpen Julian. Keningku berkerut. Bingung.
"Tugas pertama lo, buat puisi."
"Hah?" Aku bertanya dengan tampang kebingungan. Buat apa puisi.??
"Cepet, gak pake lama," ujarnya tanpa menjawab kebingunganku. Aku hanya menurut lagi pula Julian tadi sudah berjanji jika aku selesai membuat puisi maka ia juga akan menandatangani kertas putih yang kubawa ini.
"Kak, ini gue harus buat puisi tentang apa?"
"Tentang cinta,"
"Eh??"
"Gue lagi suka sama cewek. Udah beberapa kali gue kirimin dia surat, tapi dia gak mengubris. Gue pikir mungkin kata-kata puitis gue dalam surat itu gak terlalu berkesan, gak bagus. Tapi sekarang gue minta lo buat tulis puisi yang bagus."
Oke. Jadi Julian lagi jatuh cinta. Sama cewek, entah itu siapa. Yang jelas dia gak mau sebutin nama cewek itu. Ternyata bisa juga kating galak dan dingin ini bisa jatuh cinta. Tapi apa mungkin si cewek bakal ngebalas cintanya Julian, secara mana ada sih cewek yang mau pacaran sama cowok jutek, ketus galak kayak dia. Oke gue akui dia ganteng. Tapi...
Tapi kasian juga ya dia kalo ditolak??
Itu tadi suara hatiku, menggema sambil menatap prihatin ke arah Julian yang kini duduk ketus dia atas meja dosen. Dan posisi ku seperti mahasiswi yang sedang diawasi dalan ujian oleh dosennya.
"Ngapain lo liat gue? Suka? Jangan ngimpi. Cewek yang ngantri itu banyak buat dapetin gue,"
Ge-er.
"Siapa juga yang liatin lo. Tuh gue lagi liatin tembok supaya dapet inspirasi buat puisi."
Aku kemudian lanjut menulis puisi. Ya walaupun modal kata pas-pas an. Gak bagus gak jelek. Ya setidaknya lumayanlah. Dan setelah puisi itu jadi. Aku menyerahkan pada Julian. Ia tersenyum simpul. Dan menyerahkan sebuah amplop warna oranye, sebagai bungkus dari puisi itu.
Surat Oranye.
Dan surat itu mirip sekali dengan surat yang pernah diberikan orang misterius padaku. Apa mungkin...?
"Ah, gak, gak mungkin.!!"
***
Halloooo, balik lagi stelah sekian lama. Julian kok nyabelin ya sekarang? Kesambet kali dia ya.😄😄. Okee222 see u di next part
KAMU SEDANG MEMBACA
Adek Kelas
Teen FictionRido si kelas sepuluh, selalu merasa risih bila dipanggil sebagai Adik oleh Dressila kakak kelasnya. Dressila sendiri sekarang sudah kelas dua belas. Entah apa yang membuat Rido enggan dipanggil sebagai adik. Setiap pertemuan mereka berdua selalu be...