Dua puluh tujuh : My Labil Boy

526 23 0
                                    

"Jadi surat ini dari siapa? lebih tepatnya surat cinta ini dari siapa?" Rido mengambil surat warna oranya yang tadi kutunjukkan. "Dari selingkuhan lo?" Ucapnya.

Mataku membulat, tak menyangka Rido akan mengatakan hal itu.

"Lo nuduh gue selingkuh?" Protesku.

Rido diam saja, tatapannya sekarang beralih pada Pak Ojo salah satu karyawan di kafetacinta. Rido memberikan instruksi kepada Pak Ojo untuk membereskan sisa minuman yang sudah habis.

"Do...," Rido masih saja diam.

Ia berdiri, " Gue anter pulang, udah sore," ucapnya dengan nada suara yang rendah. Ia pasti marah, itu terlihat jelas dari raut wajahnya.

Aku kemudian diantar pulang oleh Rido. Rasanya aneh, naik motor berdua tapi tanpa canda tawa atau guyonan lebay yang menjadi ciri khas Rido. Kali ini hanya deru angin dan diam yang menghiasi.

***

Malamnya aku menunggu telpon dari Rido. Tapi tak ada. Nihil. Biasanya cowok itu sudah membuat telingaku pening dengan segala gombalan lebaynya, tapi menurutku itu seru daripada saat ini yang tidak jelas gimana arahnya.

"Dressi," Mama membuka pintu kamarku. Senyum manis terpancar dari wajahnya. " Ya, Ma?"

"Rean ada di ruang tamu, dia lagi nunggu kamu, temuin gih,"

Aku menampakkan wajah malas, aku menggeleng keras.

"Mama kan tau Dressi itu pacaran sama Rido, bukan Rean," jelasku.

"Ya, Mama tau. Tapi perjodohan ini kan gak bisa dibatalin gitu aja. Lagian kan yang minta perjodohan ini tetap dilaksanakan kan papa sama om syailendra,"

"Tapi..Ma..," Andai aja Mama sama Papa tahu yang nyekap aku waktu itu adalah Rean, pasti akan lain jadinya.

"Kamu rapi-rapi dulu ya. Oh ya Mama sama Papanya Rean juga ada di bawah, kamu temui mereka ya sayang," Mama mengelus lembut rambutku. Dan setelah itu Mama keluar kamarku. Aku sebenarnya agak malas bertemu dengan keluarga Rean, apalagi membahas tentang masalah perjodohan. Ah, malas banget.

Aku menatap layar handphone, masih tak ada panggilan atau pun pesan dari Rido. Aku pun keluar kamar dengan langkah lemas.

***

"Jadi pertunangan kalian berdua akan dilaksanakan satu minggu setelah kalian ujian nasional," ucap Papa. Keputusan yang begitu matang diperhitungkan, katanya. Keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Aku menyerah.

Tapi bagaimana hubunganku dengan Rido. Malah sekarang si doi lagi marah lagi. Aku galau, please someone help me.

Aku mengambil telpon dan menghubungi Rido.

"Hallo?"

***
"Kenapa?" Tanya Rido dengan muka datarnya. My labil boy. Kadang ceria, kadang lebay, kadang dingin, kadang cuek tergantung mood nya.

Selepas telponan tadi aku meminta Rido untuk bertemu di Kafetacinta. Malam itu kafe diramaikan oleh banyak pengunjung.

"Tentang surat itu? Tentang surat cinta lo sama orang lain," ujarnya menebak. Dengan nada suara yang tidak bersahabat, Rido membahas tentang surat kemarin itu lagi. Belum kelar masalah pertunangan sekarang masalah surat itu lagi.

"Surat itu bukan apa-apa, gak penting, buat apa sih dipikirin?"

"Buat lo gak penting. Tapi buat gue penting. Dressila Lo tuh sekarang pacar gue, jadi gue gak suka kalo ada orang yang kasi lo surat,"

"Tapi, Do. Surat itu cuma surat biasa, bukan surat apa-apa,"

"Surat biasa apa? Di surat itu tertulis jelas kalo lo pernah jalan berdua sama orang, liat senja barengan."

Adek KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang