Dua puluh empat: Pulang

480 20 0
                                    

Julian membereskan semua peralatan kemah yang ia bawa. Peralatan kemah yang simple dan sederhana. Cukup untuk keperluan bermalam satu atau dua hari.

"Lo ngapain?" Tanyaku ketika kulihat Julian membereskan semua peralatannya. Termasuk gitar dan sekarang giliran tenda kecil yang akan dibereskannya.

"Kita harus pergi dari sini, Rean pasti bakal balik lagi buat nyari lo ke sini," jawabnya. Aku mengangguk mengerti. Dengan cepat, aku juga membantu Julian membereskan semuanya, setelah selesai, aku dan Julian pergi dari hutan ini.

Tapi di tengah perjalanan, lagi-lagi aku harus berhadapan dengan manusia nyebelin, Rean.

"Gue udah duga, yang di dalam tenda itu lo," ucapnya sambil menunjuk kearahku. "Lo gak akan pernah bisa lari dari gue," sambungnya.

"Re, udah deh, lo itu gak usah ngejar gue lagi. Udah gue bilang kan, gue gak suka sama lo, gue juga gak mau nikah sama lo,"

"Gue, gak peduli, yang penting gue bisa ngedapetin lo,"

"Egois banget sih lo jadi cowok, sekali dia bilang gak ya berarti nggak, lo gak usah paksa dia lagi," ucap Julian membelaku.

"Bukan urusan lo....,Dressi ayo ikut gue," ucap Rean sambil menarik paksa tanganku. Julian tentu tidak mau melihatku diperlakukan seperti ini sama Rean. "Bro, lo gak usah kasar sama cewek," ucap Julian.

"Diam lo, ini bukan urusan lo,"

"Urusan dia jadi urusan gue juga,"

"Banyak bacot," dan Bumm..perkelahian antara dua cowok ini tak bisa dihindarkan. Mereka berkelahi di hutan, lantas kepada siapa aku meminta tolong untuk melerai mereka berdua.

Akhirnya setelah beberapa saat perkelahian itu terhenti. Julian babak belur. Rean juga.

"Dress, pokoknya lo harus ikut sama gue," ucap Rean lagi.

"Gue gak bisa Rean,"

Rean kemudian marah-marah gak jelas dan kemudian ia menelpon seseorang setelah itu dia pergi. Akhirnya aku selamat lagi dari Rean.

"Julian, lo gak papa kan?"

"Gak papa, cuma luka kecil doang."

"Tapi lo kayak gini gara-gara gue, gue minta maaf ya...,"

"Gak papa, santai aja,"

***

Aku dan julian kemudian sampai di sebuah rumah besar dengan desain sederhana nan klasik. Rumah ini berdiri megah di kelilingi dengan suasana rimbunan pepohonan. Rumah ini berdiri tak jauh dari hutan tadi.

"Ini Rumah siapa?"

"Rumah warisan kakek gue,"

"Lo, tinggal sendirian disini?" Julian mengangguk.

"Keluarga lo?"

Julian tak menjawab. Ia hanya mengeluarkan obat merah yang tersimpan rapi di kotak obat yang tertata di dalam lemari kecil berwarna coklat.

"Sini biar gue yang obatin luka lo, kan lo kayak gini juga karena gue kan?!" Aku mengambil seperangkat kotak itu dari tangan Julian. Aku mulai membersihkan mengobati lukanya. Sekilas ku tatap wajahnya, mirip Rido.

Ia menatap ku. Aku tergagap.

"Kenapa lo liat gue?" Ucapnya.

"Ha...e..emm..eng..," Aku tergagap. Gak tau harus ngomong apa.

Tak terasa senja mulai menyelimuti bumi. Hawanya yang dama merasuk hingga kedalam jiwa.

Julian Senja Syailendra, cowok itu berdiri di ditengah hamparan senja yang memukau. Ia menutup matanya perlahan.

Aku berdiri sejajar dengan cowok itu. Mengikuti setiap apa yang ia lakukan. Menutup mata perlahan dan menghembuskan napas pelan.
Apa yang ia lakukan sama seperti yang dilakukan Rido sewaktu di bukit. Menatap senja dengan penuh penghayatan.

"Emm, Julian lo sama deh kayak pacar gue, suka liat senja...setiap ada senja dia pasti ngelakuin hal yang sama kayak lo," Aku melirik ke arah Julian, matanya sudah terbuka sekarang. Ia masih menatap senja yang indah.

"Katanya setiap kali liat senja, ia teringat sama saudaranya yang entah dimana sekarang," Aku seakan berbicara pada diriku sendiri, sedangkan Julian masih asyik saja menikmati senja.

Yaelah..dikacangin gue

Aku menyerah, tampaknya mengajak orang ini bicara tak ada gunanya. Ia menghirup nafas pelan dan udara pengiring senja menerobos setiap rongga yang kosong.

Hari itu senja indah, tapi akan lebih indah jika ada dia disini...

***

Julian mengantar ku pulang ke rumah besok paginya. Rasanya senang sekali bisa terbebas setepah dua hari disekap di pegubukan hutan. Aku melangkah pelan memasuki rumah.
Ku lirik Julian, "lo gak masuk?" Ia menggeleng. Next time, ujarnya.

Aku menatapnya dengan senyuman dan mengucapkan terima kasih banyak atas pertolongannya padaku.

Julian kemudian pergi, berlalu bersama motor kesayangannya. Entah kapan lagi aku bisa bertemu dengan cowok dingin baik hati itu.

Aku memasuki rumah. Dan kudapati wajah resah keluargaku. Resah karena kehilangannku. Tapi wajah resah dan khawatir itu berubah seketika, ketika melihatku telah berada di depan mereka. Aku kembali.

"Dressila...," Mama memeluku erat, mendekapku dengan penuh cinta serta berurai air mata. Mungkin tangisnya ini adalah tangis bahagia karena telah bertemu denganku. Papa juga begitu, ia memeluku dan mengusap pelan rambutku.

"Dress, kita semua khawatir dengan keadaan lo, kita semua panik, lo kemana aja??" Suara Bang Arjun yang tadi juga langsung menyambutku dengan penuh kehangatan. Aku ingin bilang, aku di culik sama Rean, di paksa nikah segala sama dia, tapi ku tahan.

"Dress, kamu gak papa kan? Gak ada yg luka kan?" Tanya Mama. Aku menggeleng ku peluk lagi Mama. "Mama sama Papa, keluarga dan teman-teman kamu sudah mencari kamu kemana-mana Dress," ujar Mama lagi.

"Om, tante, polisi bentar lagi dateng dan pencarian Dressila akan kita lanjutkan hari in....," Rido tiba-tiba datang, orang yang dua hari ini kurindukan. Aku tersenyum menatapnya. Dan dengan wajah kaget serta bahagia menghiasi wajah tampannya.

Ia mendekat ke arahku. " Dressila...," ucapnya. "Dressila..,"

Rido meraih tanganku, tapi dihalangi oleh Bang Arjun, "Eits bukan muhrim," ucap bang Arjun.

Aku tertawa melihat ekspresinya Rido. Ia malu-malu kucing, di tatapnya aku sambil berbisik,"Dress, gue kangen tau,"

Aku tersenyum, rasanya bahagia bisa kembali berkumpul dengan keluarga dan terlebih lagi bareng dia...si adek kelas nyebelin bin ngeselin bernama Rido Rain Syailendra.

***


Adek KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang