"Gue inget, waktu itu..."***
Tiga tahun yang lalu...
Matahari panas sekali. Sepanas suasana hatiku yang habis di bully habis-habisan olen Rean cs. Seragam SMP putih biru yang kukenakan basah kuyup. Diguyur air sisa pel. Aku kesal, marah, tapi tak tau harus apa.
Bel pulang sekolah nyaring terdengar. Dengan langlah lunglai aku menuju rumah. hari ini aku tak memakai angkutan umum atau minta jemputan. Aku berniat jalan kaki saja. Siapa tau sampai rumah seragam ku bisa kering dan tak menimbulkan pertanyaan macam-macam dari Mama.
"Rean keterlaluan banget ," berkali kal aku mengumpat perlakuan buruk Rean untukku. Rean memang hobi menjaili cewek - cewek cupu sepertiku ini. Rean itu manusia yang benar- benar tak punya hati.
Suara klakson mobil mengagetkanku. Aku menoleh, ternyata Rean.
"Ehh, cupu. Jangan mimpi buat jadi pacar gue. Enak aja lo suka sama gue, buang jauh jauh tuh perasaan lo," Rean menutup kembali kaca mobilnya dan melenggang maju di jalanan.Lagi, Rean membuatku sedih, dengan perkataanya dan perbuatannya. Dan bodohnya aku menaruh hati padanya.
"Lo salah, suatu saat nanti gue pasti bisa buat lo suka sama gue," ujarku dalam hati. Aku bertekad ingin berubah, supaya tak jadi bahan bulian lagi. Supaya Rean tak memandangku sebelah mata lagi.
Dengan suasana hati kesal sekali, aku melanjutkan perjalanan. Sesampai di sebuah jembatan besar ,aku terperangah melihat seorang siswa SMP laki-laki berpenampilan culun hendak menerjunkan tubuhnya dari atas jembatan yang dibawahnya dialiri sungai dengan arus yang sangat deras.
Aku mendekati siswa itu, mencoba mencegahnya untuk tidak terjun.
"Jangan loncat, lo gila ya?!, lo mau bunuh diri?! Apa lo gak mikirin orang orang yang peduli sama lo, yang bakalan sedih kalo lo ngelakuin ini. Egois banget sih lo," aku berkata sambil, meninggikan suara dengan nada bergetar.
"Apa urusan lo? Lo pergi sana, ini bukan urusan lo!!," suaranya meninggi, menepis tanganku yang mencoba menahannya untuk tidak lompat.
"Ya gue tau ini bukan urusan gue. Emang gue gak tau masalah lo, tapi masalah itu gak bisa diselesein dengan bunuh diri kan,?"
"Jangan sok tau," kedua kakinya bahkan sudah menapak dipembatas jembatan, tinggal satu hempasan dia pasti terjatuh dari jembatan yang tinggi. Bahkan untuk melihat kebawah, aku bergidik ngeri.
"Gue emang gak tau masalah lo, tapi..tapi..mhhm...kalo lo lompat, oke gue ...gue juga bakalan lompat," aku menelan ludah sekali lagi melihat ke bawah. Aku takut. Kuharap dengan aku mengatakan hal itu anak SMP ini mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.
"Gue emang gak kenal sama lo, tapi kalo lo lompat gue juga,"
Dia menatapku tajam, kulihat matanya sembab, sehabis menangis.
"Oke,"
Oke apa maksudnya? Apa maksudnya oke untuk lompat atau tidak lompat.
"Maksud lo. Lo mau beneran lompat gitu? Jembatan ini tinggi lo, lagi tuh, arus sungai deres banget," cowok muda itu menatapku lagi. "Lo takut ?"
"Eng,,,..enggak,"
"Lo kenapa mau lompat juga?"
"Siapa tau gue bisa ngeringanin beban lo."
"Kalo lo mati?"
"...." sebenarnya aku belum mau mati, aku masih punya cita-cita, masih punya mimpi, masih punya keluarga yang harus ku jaga.
"Lo diem berarti lo takut, payah!!,"
"Gue tau gue payah, gak guna. Tapi lo yang lebih payah, nyelesein masalah dengan cara bunuh diri. Gak elit. Gak keren. Emang lo pikir yang punya masalah lo doang. Semua orang punya masalah, gak lo, gak gue, gak orang lain, intinya semua orang punya masalah."
Siswa SMP itu sepertinya agak tersentuh dengan ucapanku. Kakinya yang tadi menapak di pembatas jembatan kini telah ia turunkan, dan kembali menapak pada jalan.
"Lo kelas berapa?"
"Tujuh,"
"Berarti lo itu adek kelas gue. Gue kelas sembilan.Lo sekolah dimana?"
"SMP ANDROMEDA,"
"Gue, SMP BIMA SAKTI,"
"Untung lo gak jadi bunuh diri. Mmmm,, oh ya gue punya coklat. Kata Mama gue, coklat itu bagus buat nenangin pikiran, bisa bikin rileks. Lo makan, nih buat lo ," Aku memberinya sebungkus coklat, dari ekspresi wajahnya ia seperti tak mau menerima coklat itu. Tapi aku meyakinkannya untuk menerima coklat itu.
"Coklat itu enak loh, makan dong nih,!" Aku membukakan bungkus coklat itu untuknya. Ia menerimanya. Memandang coklat itu sebentar, dan memakannya, aku bisa menangkap dari ekspresi wajahnya ia seperti tak terbiasa makan coklat.
"Lo gak suka?"
"Suka, ini enak,"
"Jadi masalah lo apa?"
"Lo beneran pengen tau ? Biasanya gak ada orang yang mau peduli sama gue, gak ada yang mau dengerin keluh kesah gue. Gak ada yang mau ngehibur gue kalo lagi sedih."
"Lo cerita aja, gue pasti dengerin kok,"
Dia menarik napas panjang, menatap lurus ke depan jalanan yang agak lengang.
"Mama papa gue pisah dua bulan lalu, karena terpukul dengan perpisahannya dengan papa gue, mama gue jadi sakit-sakitan dan dia meninggal sebulan lalu. Gue sedih banget karena kepergian mama gue, padahal mama adalah satu satunya tumpuan hidup gue, gue sayang banget sama mama gue."
"Lo gak punya saudara?"
"Punya, kakak perempuan. Tapi dia sedang kuliah di luar negeri, bentar lagi lulus .Sekarang gue tinggal di rumah nenek gue.
Setelah perceraian, papa gue nikah lagi dengan wanita lain. Wanita itu pasti selingkuhannya. Gue benci banget dengan wanita itu. Papa gue sekarang tinggal bareng wanita itu dan anak tirinya. Semenjak punya anak tiri, papa lebih mementingkan anak tirinya itu dibanding gue dan kakak gue. Gue benci sama papa gue, benci banget." Ia kemudian terdiam menyeka setetes dua tetes air mata yang keluar dari mata beningnya.Aku mengambil kesimpulan ternyata anak ini korban dari broken home. Aku mencoba menenangkannya, menepuk pelan pundaknya sebagai tanda kepedulian.
Aku tidak tega melihat buliran air mata yang keluar dari mata lugunya. Padahal dari penampilan luarnya anak SMP selugu dan sepolos ini tak mungkin kepikiran untuk bunuh diri, tapi akibat masalah yang terlalu berat jadi ia tak sanggup berbuat apa apa lagi.
"Dan lo tau, karena penampilan gue sebagai cowok culun banyak temen gue di sekolah yang ngebully dan ngehina gue," tambahnya seraya menunjuk dirinya sendiri.
"Lo liat kan kaca mata besar, celana jojon, rambut model jadul,...karena ini banyak orang yang suka gangguin gue,"
"Kalo di bully, kayaknya kita senasib deh. Gue juga sering di bully sama temen sekolah gue, tapi menurut gue hal itu adalah motivasi gue buat berubah jadi lebih baik," ucapku sambil menampilkan wajah ceria didepannya, supaya dia tahu bully itu memang tidak bisa membuat semangat jadi kendor.
"Lo kenapa di bully?" Tanyanya
"Lo gak liat gue juga cupu. Tapi gue bertekad untuk berubah, lo juga ya,"
Ia mengangguk sebagai jawaban persetujuannya
"Eh gimana kalo sekarang kita jadi temen aja. Jadi kalo ada masalah lo bisa cerita sama gue,"
"Oke, sekarang kita temen,"
Aku memberikannya sebuah gelang sebagai tanda persahabatannya denganku.
" Gue Dressila, lo?"
"Gue Dodo, tapi Dressila baju seragam lo kok basah dan kotor, lo habis ngapain?"
"Kan gue udah bilang, gue ini korban bully,"
"Kenapa sih ada orang yang ngebully orang sebaik lo,"
"Udahlah gak usah dipikirin,"
"Tapi Dressi, makasi ya udah mau nolongin gue hari ini. Lo nolongin gue dengan ngeyakinin gue kalo gak ada masalah yang selesai dengan bunuh diri. Makasi ya Dressi,"
"Santai aja kayak di pantai,"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Adek Kelas
Fiksi RemajaRido si kelas sepuluh, selalu merasa risih bila dipanggil sebagai Adik oleh Dressila kakak kelasnya. Dressila sendiri sekarang sudah kelas dua belas. Entah apa yang membuat Rido enggan dipanggil sebagai adik. Setiap pertemuan mereka berdua selalu be...