Dua puluh enam : Surat Oranye

548 22 0
                                    

"Buat lo," ucap Rido sambil menyerahkan sekuntum mawar merah di pagi-pagi buta sekitaran jam 06.30. Suasana sekolah masih sepi dari teriakan dan kehebohan anak-anak sekolah.

"Wah bagus banget bunganya," jawabku seraya mengambil bunga itu.

"Pacar gue itu ya, emang romantis banget," ucapku untuk memujinya. Rido tertawa dan mengacak rambutku. Mulai deh Rido nih, kebiasaan barunya. Ngacak-ngacak rambut ceweknya. "Apaan sih Rido, dandanan gue jadi berantakan tau, ntar kalo gak cantik lagi gimana??!!," ucapku sambil sok cemberut.

Bukannya berhenti, Rido malah terus-terusan mengacak rambutku. Hingga membuatku ku kesal dan pura-pura mogok bicara.

"Oke deh neng, maafin abang," ucapnya. "Sini deh, abang rapiin rambut neng," Ia kemudian mulai merapikan rambutku. Mengatur rambut yang tadi urakan kembali keposisinya. Romantis. Aku tersenyum malu dibuatnya.

"Ciyee...,"

Ratna dan Wira tiba-tiba datang. Sambil mengucapkan ciye-ciye sepasang kekasih itu malah menggodaku dengan Rido.

"Ehem-ehem, uhuk-uhuk..."

"Aaaa...romantis banget, so sweet tau."

"Ciyee mesranya...,"

"Yang dari pada ganggu kita pergi aja yuks," ucap Ratna kemudian pada Wira setelah beberapa menit yang lalu berhasil membuatku salting di depan Rido. Ratna dan Wira akhirnya pergi dan aku dan Rido berdua lagi. Duduk manis berdua di bangku taman yang panjang.

***

"Gak cocok," Dira tiba-tiba muncul ketika aku sedang mencuci muka di toilet. Tadi habis istirahat.

"Lo nyadar gak sih, lo sama Rido tuh gak ada cocok-cocoknya, ceweknya ketuaan, pantasnya tuh lo jadi kakaknya aja," cerocosnya, aku mencoba tak menghiraukan terus saja ku putar keran air itu dan membasuh wajah ku pelan.

Aku mengambil tisu dan mengeringkan wajah.

"Dressila, lo denger gak sih apa yang gue bilang barusan, lo sama Rido tuh gak ada cocok-cocoknya," Aku menghentikan aktifitas mengeringkan wajahku dan ku tatap tajam mata cewek itu.

"Denger, tapi bodo amat, terserah lo mau bilang apa aja." Aku kemudian keluar dari toilet itu dan meninggalkan Dira dengan perasaan marah dan kesalnya.

***

Makasi udah nemenin gue liat senja waktu itu.

Surat pendek. Aku menerima surat entah dari siapa. Tadi dianterin sama pak pos. Surat yang dibalut dengan amplop mini warna oranye. Warna senja.

Gue gak tau karena pertemuan sekejap kita, senja jauh lebih berkesan. Mungkin karena ada lo.

Ah, surat ini pasti dari pacarku, pikirku. Rido itu memang romantis, padahal ia bisa bilang langsung jika ia senang melihat dan menikmati senja bersamaku, tapi kenapa harus menggunakan surat segala. Pasti ini bagian dari rencana romantisnya.

Baru kemarim cowok itu mempersembahkan sebuah kafe cantik sebagai tanda cinta untukku. Dan sekarang ia juga mengirimi ku dengan surat.

"Dari Rido?" Ucap Doni yang melihatku tersenyum tidak jelas sambil mengelus-elus surat oranye itu. Aku mengangguk. Doni terlihat agak kesal.

" kenapa?" Tanyaku pada Doni. Doni menggeleng, "Gak papa,"

"Lo masih marah sama Rido ? Don, bukan salah Rido dong kalo Dira suka sama dia, lagian kan bagaimanapun juga Rido dan Dira itu pernah ada hubungan."

"Lo beneran pacaran sama Rido ?"

Aku mengangguk pasti. Akan tetapi Doni terlihat tidak bersemangat, mungkin ia tidak setuju dengan hubunganku dengan Rido.

"Don, lo gak boleh dong selamanya benci sama Rido?!"

Doni tak mengatakan apapun, ia hanya berlalu dan masuk ke dalam kamarnya.

"Don, lo gak mau dikutuk jadi adik durhaka kan?" Tak ada jawaban dari dalam, padahal suaraku tadi sudah ku keraskan supaya si Doni bisa mendengar suara cetarku dibalik pintu kamarnya. "Gue mau tidur,"

"Lu mah molor mulu,"

Aku yakin Doni tidak sedang mengantuk apalagi tidur, tuh anak cuma lagi kesel aja. Biarinlah nanti juga pulih sendiri tuh anak.

***

Aku mengambil hp dan berniat untuk menghubungi Rido. Tapi belum sempat aku memencet nomor telponnya Rido, eh Ridonya udah telpon duluan. Kontak batin. Jodoh nih kayaknya, pikirku.

"Hai, pacarnya Rido,"

"Hai juga pacarnya Dressila, eh padahal tadi gue mau telpon duluan loh, tapi pas banget lo yang telpon,"

"Wiih, jodoh kita kayaknya," ucapnya terdengat suara bersemangat darinya.

Amin, ucapku dalam hati.

"Hallo? Kok diem, oh gue tau pasti tadi lo bilang Aamin kan dalam hati. Hehe, bener kan?!!" Tebaknya

"Kok lo tau sih?"

"Iyalah, gue gitu loh. Kan gue pacarnya lo. Gue tau semua hal yang lo pikirin. Terus kalo lo, lo tau gak apa yang gue pikirin sekarang?" Tanyanya. Aku mencoba berfikir, mencoba menebak apa yang dipikirkan cowok manis ini.

"Pasti lo lagi mikirin fisika kan? Lo kan suka banget itungan fisika.?!"

"Salah, ayo tebak lagi,"

"Mmm,,..oh gue tau..pasti lo lagi mikirin tentang acara pentas band lo? Iya kan?"

"Apaan sih Dress, kok lo gak tau apa yang gue pikirin sih,"

"Iya terus lo lagi mikirin apa?"

"Masa lo gak tau sih? Dasar gak peka"

"Iya tapi lo lagi mikirin apa?"

" gue lagi mikirin Lo lah. Yang ada dihati dan dipikiran gue cuman ada Lo,"

Aku terdiam. Hehe, kok gak kepikiran iya,Rido ternyata sedang memikirkanku. Iya sih, gue emang kadang gak pekaan Do, maaf ya. Hehe.

"Iya, sorry gue pikir, lo gak mikirin gue,"

"Always think about you, my kesayangan,"

"Udah-udah lebaynya Rido ini. Eh tapi BTW thanks ya, udah kasi gue surat tadi lewat pak pos. Suratnya udah gue terima,"

"Surat?"

" iya, surat yang lo kasi ke gue. Kok sekarang lo yang jadi gak peka gini Do,"

"Tapi.., gue gak pernah ngirimin lo surat apapun, "

"Loh kok? Masa sih? "

Rido menjelaskan panjang lebar bahwa ia tidak pernah menulis atau pun mengirimi aku surat. Katanya dia lagi sibuk dengan bandnya hari ini, sampai pulang ke rumahnya aja di gak sempat.

Terus tuh surat dari siapa?

Adek KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang