Tiga puluh dua

458 18 0
                                    

Aku memasuki ruangang bercat putih yang disana terlihat ada Rean yang duduk lemah di kursi dekat ranjang. Ternyata bukan Rean yang sakit tapi, Cessa.

Mama, Papa, Om Syailendra dan Tante Maria juga ikut ke rumah sakit, tapi mereka menunggu di luar karena hanya dua orang yang di perrbolehkan masuk menengok keadaan Cessa. Dan saat tadi Rido keluar ruangan, aku kemudian masuk.

Cessa, gadis itu membuka matanya perlahan, tersenyum lemah saat menyadari kedatangan ku.

"Cessa...," entah kenapa bulir-bulir air mataku berjatuhan melihat keadaan Cessa yang lemah tak berdaya saat ini.

Cessa kembali tersenyum, seakan mengatakan bahwa ia kuat. Seakan mengatakan bahwa ia masih bisa tahan dengan kondisinya saat ini. Keluarga Cessa, termasuk Tante Melodi, mamanya Cessa ,mungkin tidak kuat melihat keadaan Cessa, makanya tadi kulihat beliau menangis sesenggukan di balik pelukan Om Indra, Ayahnya Cessa.

"Cessa lo harus kuat. Lo harus bertahan demi kami semua," ucapku menguatkan. Cewek itu mengangguk pasti.

Rean, kulihat cowok itu merenung, terfokus dengan keadaan Cessa. Mungkin ada ribuan penyesalan yang menyelimuti dadanya. Menyesal karena pernah berlaku kasar dengan gadis yang selalu di panggilnya si mata delapan.

"Cessa gue minta maaf selama ini selalu anggap lo sebelah mata. Gue nyesel banget. Gue yang pernah bentak lo dengan kasar, gue yang selalu maki-maki lo. Maafin gue Cess," ucap Rean menyesal.

"Bagi gue, lo gak pernah salah, Re. Sebelum terlambat...gue... mau bilang sesuatu sama lo. Gue suka sama lo Re..," ucapan Cessa begitu lemah hampir tak terdengar.

"Gue juga. Gue juga suka sama lo. Gue cinta sama lo, Cessa.," jawab Rean. Rean kemudian menggenggam manis jemari Cessa. Aku yang melihat kejadian ini mengeluarkan tangis bahagia. Akhirnya impian Cessa terwujud.

"Re, kalo gitu lo gak boleh tunangan sama gue, lo harus tunangan sama Cessa," jelasku.

"Tapi Dre_" ucapan Cessa langsung cepat kupotong. " Tapi apa lagi Cess? Rean cinta sama lo dan lo juga cinta sama dia, jadi tunggu apa lagi. Pokoknya kalian harus tunangan."

Rean mengiyakan ucapanku dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisikan sepasang cincin. Cincin yang waktu itu di belinya bersama Cessa, dan juga mulanya akan di sematkan di jariku. Tapi cincin itu lebih berhak di pakai Cessa.

Semua yang menyaksikan pertunangan Rean dan Cessa menangis terharu sekaligus bahagia. Walau pertunangan itu dilaksanakan di ruangan rumah sakit, tapi tetap hikmat dan berjalan lancar karena dilandasi oleh cinta bukan keterpaksaan.

Prosesi pemakaian cincin yang berlangsung syahdu itu berakhir mengharukan dan menguras air mata. Bagaimana tidak beberapa saat setelah itu Cessa pergi. Meninggalkan Rean dan kami semua. Tapi cinta dan sayang kami tetap melekat buat Cessa yang pergi dengan harapan dan mimpi yang telah terwujud.

Tuhan,, sebelum aku benar-benar pergi aku ingin Rean mencintaiku walau hanya sekejap saja.-Cessa-

***

Adek KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang