Moody

5.2K 442 37
                                    

Hye In POV.

1 bulan kemudian, di balkon. . .

"Ayo, buka mulutmu," ucapku menyodorkan sesendok bubur padanya yang tengah duduk di kursi roda sampingku.

Hening. Dia tidak melakukan apa yang aku katakan. Pandangannya tetap lurus ke depan, seolah-olah keberadaanku di anggap angin.

Aku menghela nafas menurunkan tangan. Sudah lebih dari 2 minggu pasca sembuh dari koma, dia seperti ini terus. Jarang makan, jarang bicara, dan jarang beraktivitas, selalu terdiam di kamarnya. Sekalinya bicara pun hanya satu atau dua patah kata saja, tidak lebih dari itu.

Aku tahu, keadaannya saat ini memang sudah berbeda dari sebelumnya. Hanya saja, aku ingin dia kembali seperti dulu meski punya kekurangan.

"Chagi-ya.... Jangan seperti ini terus, kumohon. Aku tahu ini sulit bagimu, tapi cobalah untuk menerimanya. Nikmati hidupmu seperti biasa," ujarku mencoba membuatnya tersadar akan semua yang telah terjadi.

Hening. Tak ada respons lagi darinya. Baiklah, memang sulit. Aku tidak sanggup menghadapinya seperti ini. Aku pasrah.

Ku tundukkan kepala menatap semangkuk bubur di atas pangkuan. Sama sekali tidak berkurang sejak masih hangat. Aku mulai mengaduk-aduk makanan lembek dan sedikit berair tersebut sebagai rasa lelahku menghadapi kenyataan pahit ini. Dan seketika, berlinang air mata.

"Kenapa Tuhan masih memberiku kesempatan hidup di dunia ini?" ujarnya, sontak aku menatap dirinya.

Ini pertama kalinya aku mendengar dia bicara lebih dari dua patah kata semenjak masuk rumah sakit. Aku terkesan. Langsung ku usap air mata yang sudah membasahi pipi.

"Kenapa dia tidak membiarkanku hidup bersamanya? Kalau begini keadaannya, percuma saja aku hidup," lanjutnya membuatku terenyuh.

"Dia memberimu kesempatan karena aku masih di sisimu," balasku menggenggam tangannya.

"Ck, itu sama sekali tidak akan merubah apapun. Selamanya, sampai aku mati, keadaanku tetap seperti ini."

Setetes air mata kembali membasahi pipiku. Dia benar-benar sudah berubah, bukan seorang Jung Hoseok yang aku kenal dulu.

"Tidak, Chagi. Aku yakin, pasti ada jalan keluarnya. Aku akan berusaha mengeluarkanmu dari situasi buruk ini."

"TIDAK!!!" teriaknya dan aku terkesiap, "KAU SAMA SEKALI TIDAK MENGERTI APA YANG AKU RASAKAN!!!

"AKU BENCI HIDUPKU YANG SEKARANG!!! AKU MUAK!!!"

"Chagi-ya, tenanglah."

Dia menunduk sambil mencengkeram rambutnya, "Aku benci ini. Rasanya seperti ... berada di sebuah tempat yang di dalamnya tidak ada apapun di sana dan sangat gelap."

"Chagi-ya...," lirihku tak kuat melihatnya.

"AKU INGIN SEMUANYA BERAKHIR!!! AKU INGIN MATI!!!"

Tiba-tiba Hoseok beranjak berdiri dan berjalan cepat semaunya. Aku pun bergegas meletakkan mangkuk menghampirinya. Belum terlalu dekat jarakku dengannya, dia pun sudah tersandung dan jatuh dengan posisi berlutut. Aku yang mengetahuinya pun langsung berteriak memanggil sambil berlari ke arahnya.

Ku tatap wajah Hoseok sejenak setelah itu kupeluk dia se-erat mungkin, tidak akan kubiarkan dia melakukan hal gila tadi. Dapat kurasakan badannya yang bergetar hebat. Dia menangis.

"Chagi-ya... Kumohon jangan lakukan itu lagi. Berhentilah menjadi seseorang yang selalu ingin mengakhiri hidupnya," ujarku sambil mengelus rambutnya.

"Museowo...," ucapnya masih menangis, "Kenapa sekarang aku hidup dalam kegelapan? Kenapa semuanya terlihat hitam dan terasa hampa?" (Aku takut)

"Chagi-ya... Sudahlah...," lirihku.

"Aku takut. Sangat takut."

"Tenang, sekarang kau ada dalam pelukanku. Aku akan selalu menemanimu dalam kegelapan itu. Geokjeong hajima." (Jangan khawatir)

💝💝💝

Hari sudah sore, itu artinya waktuku menemani Hoseok hanya tinggal beberapa menit lagi. Baik, tak apa. Setidaknya besok aku akan kembali. Sehabis mandi, kini aku mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil. Posisinya saat ini duduk di sisi ranjang.

Berkat seorang perawat pria, akhirnya pacarku kembali tampan karena telah menemaninya mandi.

"Baiklah, sudah setengah kering. Saatnya disisir," ucapku berusaha terlihat bahagia walau sia-sia.

Ku sisir rambut Hoseok secara perlahan. Sesekali kuajak dia bicara namun tetap saja seperti tadi, mengatupkan bibirnya alias bungkam. Mungkin dia belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya adalah seorang tunanetra, maka itu kurasa dia butuh sedikit waktu untuk menerima semuanya.

Kulihat ke arah jam tangan, menunjukkan pukul enam, waktunya pulang.

"Chagi, sudah pukul enam. Aku harus pulang."

Hening. Lagi-lagi aku dianggap angin. Baiklah, tak apa. Kutatap dia sejenak. Tampan.

Chup.

"Aku pergi," ucapku setelah mencium bibirnya.

💝💝💝

Cklek!

Sehabis mandi aku berjalan masuk ke kamar dan berdiri di belakang pintu. Mengingat kejadian tadi, aku sedikit merasa senang. Akhirnya aku bisa mendengar beberapa kalimat yang terlontar keluar dari mulutnya. Aku sangat merindukan suara khasnya.

Terimakasih, Tuhan.

To Be Continue. . .

My Boyfriend is Blind ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang