Flashback : Two

2.6K 256 22
                                    

Tepat di hari ke sembilan, aku akan melakukan cara yang ketiga yaitu meneriaki Hoseok di lapangan basket. Kali ini aku harus membuatnya senang. Telah kupersiapkan cara ini jauh-jauh hari dengan matang dan berharap berhasil tentunya. Aku membawa papan persegi bertuliskan nama Hoseok dan kata-kata penyemangat lantaran hari ini ada pertandingan antar kelas, maka itu aku akan dukung dia sepenuh jiwaku.

Tak peduli jika teman-teman sekelasku akan memarahi dan menghajarku karena mendukung murid dari kelas lain, yang penting aku bahagia dan Hoseok senang.

Begitu pertandingan dimulai, aku pun sangat antusias menyaksikan gerakan Hoseok dalam memainkan bola basket dan menghindari serangan terbilang lincah. Kurasa dia memang jago dan kudengar dia memang punya hobi bermain basket. Wajar saja.

Baik, saatnya beraksi. Aku beranjak berdiri mengangkat papan buatanku setinggi mungkin sehabis itu meneriaki nama Hoseok berkali-kali disertai dengan kata-kata penyemangat. Disanalah aku mulai jadi pusat perhatian oleh murid-murid di sekitar. Sebagian ada yang menatap aneh dan tajam, menggelengkan kepala, mengejek, serta menyuruhku diam. Aku tidak peduli. Tetap kulakukan itu sampai Hoseok melihat ke arahku. Dan tanpa kuduga sesaat dia mengalihkan pandangan untuk mencari seseorang di sela-sela pertandingannya sebelum kembali fokus bermain. Aku hanya tersenyum.

Kuharap, kau melihatku.

Sehabis pertandingan usai, beberapa murid dan guru yang menjadi penonton membubarkan diri. Menyisakan aku, beberapa teman sekelasku, beberapa murid dari kelas lain dan seluruh anggota tim basket yang bertanding tadi.

Aku terus berjalan-jalan kesana kemari, mencari keberadaan Hoseok di segerombolan anak-anak basket yang sedang terkapar dan bersantai ria di tengah lapangan. Sampai pada akhirnya kutemukan sosok pria yang kucari.

Tanpa pikir panjang, langsung saja kupanggil dia. Dia menoleh lalu aku tersenyum. Sebelum beranjak, aku sudah melihatnya memasang wajah kesal dahulu. Ada apa?

Dia berjalan cepat ke arahku. Detik itu juga aku merasa senang namun ada rasa sedikit takut. Tanpa mengeluarkan kata-kata, dia langsung menarikku pergi dari sana.
.

.

.

"Apa maumu, huh?" tanyanya begitu kami sampai di ruangan kosong yang minim pencahayaan.

"Ini. Minumlah selagi masih dingin. Aku tahu kau pasti lelah."

"Berhentilah bersikap baik padaku, Hye In-ah!"

Astaga! Dia tahu namaku. Sejak kapan? Manisnya...^^

"Aigoo... Aku melakukan ini hanya karena ingin membantumu," kataku santai.

"Kumohon hentikan. Kau hanya membuatku malu."

"Kenapa begitu?" tanyaku sambil melihat wajahnya yang sudah basah karena keringat berlebih, "Ini," lanjutku memberi handuk kecil padanya.

Tahu-tahu dia merampas handuk kecil dari tanganku dengan kasar disertai dengan tatapan tajam. Aku terkejut sekaligus bingung.

"Berhentilah bersikap menjijikkan! Aku muak!" bentaknya seraya melempar handuk pemberianku ke sembarang tempat dan pergi.

Aku mendadak mematung menatap punggungnya yang perlahan mengilang. Sungguh, tadi itu apa? Belum pernah aku dibentak oleh seseorang. Seketika timbulah cairan bening yang asin jatuh membasahi pipiku. Sial, aku menangis.

💝💝💝

Sehabis aku diperlakukan tidak enak olehnya, kini aku semakin nekat melakukan sesuatu yang bisa membuatnya takut, mungkin. Yeah, tunggu saja.

Jujur, aku sedikit dendam atas kejadian tadi saat disekolah. Dia membentak dan pergi begitu saja, tidak tahu kalau setelahnya aku menangis. Keterlaluan. Kalau memang tidak suka, bicaralah baik-baik tidak perlu kasar. Dasar lelaki.

Begitu sampai dirumah aku langsung membersihkan diri dan tepat pukul 11 malam aku pergi keluar. Dengan berpakaian serba hitam dan tertutup, ku kayuh sepeda menuju suatu tempat. Berhubung sudah malam, kurasa tindakanku nanti akan berhasil.

Selang beberapa menit, akhirnya aku sampai. Ku tepikan sepeda di dekat sebuah dinding yang tertutupi tumbuhan merambat lalu melangkah mundur dan berhenti tepat dilangkahku yang kelima. Kutatap salah satu jendela yang bercahaya serta terbuka lebar. Kurasa dia belum tidur. Baguslah, semoga sukses.

Pertama, ku ketik sesuatu berupa pesan tanpa adanya identitas lalu mengirimkan padanya. Pesan yang kuberikan bertuliskan, 'Ingat, setiap malam aku selalu berdiri disini'.

Detik-detik menunggu, akhirnya ponselku bergetar. Dia membalas pesanku yang bertuliskan, 'Maaf, ini siapa?'.

Ku ketik kembali dan mengirimkan padanya, 'Cari tahu saja sendiri. Intinya kau mengenalku'.

Tanpa aba-aba langsung kuhubungi nomornya. Menunggu beberapa detik tak kunjung ada respons. Mungkinkah ia takut? Haha, lucu. Kuhubungi kembali lalu menunggu, lagi-lagi panggilan berakhir. Baik, ini yang terakhir. Akan kucoba lagi.

Tutt...

Tutt...

Tutt...

"Yeo-yeoboseyo?"

"....."

"Yeoboseyo? Maaf, ini siapa?"

"....."

"Yeoboseyo? Jika tidak menjawab, akan aku matikan."

Tanpa kata-kata apapun yang aku lontarkan langsung ku akhiri panggilan tersebut kemudian beralih mengirim pesan, 'Lihatlah keluar dari jendela kamarmu'. Kutatap jendela kamarnya dan menunggu. Memastikan apakah dia melakukannya atau tidak. Dan ternyata, dia melakukannya setelah dua menit aku menunggu, menyebalkan. Kakiku pegal bodoh.

Dia menunjukkan wujudnya dan masih mencari-cari keberadaanku. Kebetulan aku berdiri di tempat yang minim penerangan, sudah gitu berpakaian serba hitam, jadinya cukup sulit terlihat.

Pada akhirnya, titik pandang dia tertuju ke satu arah. Yeah, ke arahku, tepat sekali. Sepertinya dia sedang memastikan sesuatu yang dilihatnya. Aku pun melambaikan tangan dan dia terbelalak. Ku ulurkan jari telunjuk kanan lalu mengarahkan padanya setelah itu kuberi kode kalau dia akan mati dengan cara menggunakan ibu jariku sebagai pisau kemudian mendekatkan pada leher dan menggerakkannya ke arah kanan.

Disaat itu juga dia panik bergegas menutup jendela sekaligus gordennya. Melihatnya demikian membuatku ingin tertawa lepas. Sungguh tadi itu lucu. Tidak kusangka, seorang pemuda bernama Jung Hoseok yang cukup terkenal karena kepiawaiannya dalam bermain basket ternyata adalah orang yang penakut. Haha.

Lagipula mana ada yang mau membunuh pemuda tampan sepertinya, huh? Jika pembunuhnya adalah aku, tak akan kulakukan meski tertanam dendamku dalam dirinya sekalipun.

"Jung Hoseok, ini belum berakhir. Masih ada lagi. Tunggu saja," ujarku kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku jaket. Berjalan mendekati sepeda dan mengayuhnya sampai rumah.

To Be Continue. . .

My Boyfriend is Blind ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang