Flashback : Nine (b)

900 120 4
                                    

"Hye In-ah! Ireona! Palli!"

.

.

"Hye In-ah! Jukjima! Jebal!" (Jangan mati! Kumohon!)
.

.

"Yak! Palli ireona!"
.

.

.

Aku terjaga dari dunia aneh bersama suara yang bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya. Omong-omong, aku masih hidup! Iya! Keberadaanku di UKS adalah buktinya! Syukurlah sang Pencipta masih memberiku kesempatan.

Kini aku melirik ke arah kiri, sesosok pria tengah terlelap seraya mencekal tanganku ada di sisi ranjang. Kulepaskan cekalan Hoseok lalu mendekatkan wajahku ke arahnya. Kalau saja dia tidak menyelamatkanku, mungkin irasnya adalah pemandangan terakhir sebelum aku mati tenggelam.

Kenapa aku dan dia harus mengalami perjalanan penuh lika-liku dahulu sebelum sampai di titik kebahagiaan? Bukankah sebenarnya mudah hanya diawali dengan perkenalan, pertemanan, pendekatan lalu menjadi sepasang kekasih? Tapi kenapa Tuhan menciptakan alur yang berbeda untuk kami? Mungkinkah kami ini istimewa? Entahlah.

Hoseok membuka mata, mengerjap beberapa kali sebelum terbelalak. Dia lantas duduk dan menanyakan keadaanku, ekspresi khawatir ada pada wajahnya saat ini. Aku beranjak duduk dan menjawab semua kekhawatirannya.

Ketika hendak meninggalkan ranjang UKS, tahu-tahu aku terkejut melihat pakaian yang tengah kukenakan.

"Omo! Kemana seragamku?!" kataku panik lalu menatap Hoseok, dugaan konyol terhadapnya ada dalam pikiranku.

"Mwo-ya?" sahutnya datar.

"Apa kau yang mengganti pakaianku? Jawab! Dasar laki-laki menyebalkan! Beraninya kau melakukan itu!" tuturku sembari menutupi sekujur tubuh dengan selimut.

"Yak! Naega ani-ya!" (Bukan aku!)

"Lalu siapa kalau bukan dirimu?!"

"Tentu saja Jung Uisa yang melakukan itu! Dasar gadis berprasangka buruk!"

"Sungguh itu dia?" tanyaku mendadak tenang.

"Iya. Kalau tidak percaya tanyakan saja sendiri."

Aku menghela nafas lega,"Syukurlah. Ini seragam olahraga punya siapa yang kupakai? Kalau punyaku tidak mungkin karena sedang di cuci."

"Nae kkeo-ya." (Punyaku)

"Mwo?"

Sehabis berucap aku sontak merasa beruntung lantaran bisa mengenakan pakaian miliknya. Serasa bersetubuh secara tidak langsung. Sungguh berkah sekali, haha.

Dia pun mengantarku ke kelas setelah ku tolak untuk di antarkan pulang karena belum waktunya. Baru saja keluar dari UKS, tiba-tiba tubuhku sedikit terhuyung. Dengan sigap dia menahan ragaku agar tidak terjatuh ke lantai.

"Gwaenchanha?"

"Ne."

"Jibe kago sipeo?" (Kau mau pulang ke rumah?)

"Ani, gwaenchanha. Kaja," ucapku melangkah meninggalkannya, namun tiba-tiba dia menarik pergelangan tanganku lalu menggendong tubuhku di punggungnya, "Yak! Turunkan aku!"

"Sirheunde," balasnya lantas berjalan menuju kelas.

💝💝💝

KKKRRRIIING!!!

Seusai bel pulang berbunyi, seluruh murid di kelas mengemasi barang-barangnya dan pergi meninggalkan ruangan, sementara aku masih melanjutkan mata pelajaran yang sempat kutinggalkan.

"Eoh? Bukankah itu Jung Hoseok? Sedang apa dia di sana? Apa sedang menungguku?" ujar He Ra—murid di kelasku yang kebetulan belum pergi.

"Menunggumu? Ck, yang benar saja. Dia di sana jelas bukan sedang menunggumu, melainkan menunggu Hye In. Belakangan ini mereka tampak dekat. Sudahlah, ayo pulang," balas Shin Ae—teman sebangkunya.

Begitu mereka pergi, aku menoleh ke arah jendela menatap Hoseok di luar sana. Dia hanya berdiri dengan membelakangi kelasku. Apa dia tahu kalau aku masih ada di dalam ruangan ini?

Aku berjalan keluar untuk menemuinya, "Mwohae?"

"Oh, Hye In-ah. Kaja, jibe deryeoda julke." (Ayo, aku akan mengantarmu pulang)

"Ah, gwichanhkehaji mara. Gwajega kkeutnan hue jibe galgeo-ya." (Tidak usah repot-repot. Aku akan pulang setelah tugasku selesai)

"Kalau begitu, akan kutunggu kau sampai selesai."

"Hoseok-ah, geumanhae. Berhenti membuatku terus merasa sudah merepotkanmu." (Hentikan)

"Kenapa kau malah merasa begitu? Kita 'kan sudah menjadi sepasang kekasih, wajar jika demikian."

Ah iya, kebahagiaan terbesarku telah dilupakan begitu saja. Berkat kejadian di area kolam tadi, aku lupa bahwa kami adalah sepasang kekasih. Maafkan aku, sayang.

Setelahnya aku terdiam sembari melipat bibir menatap wajahnya saat kehabisan kata-kata.

"Jangan menatapku terus, nanti kau bisa meleleh karena ketampananku ini."

"Cih!" kataku tampak mengejek dirinya, "Ya sudah, temani aku di dalam."

💝💝💝

Tiba di depan rumah, aku mengajak Hoseok untuk masuk ke dalam. Tak lama terdengar suara pagar terbuka yang menampakkan wujud ibu di baliknya.

"Aku mendengar orang berbicara, kupikir hantu tapi ternyata itu anakku sendiri bersama … eum...," ujar ibu terjeda saat melihat Hoseok di hadapanku.

"Annyeonghaseyo, Eomeoni," sapa Hoseok sekilas membungkuk sopan.

"Apa kau teman sekelasnya Hye In?"

"Ani-yo, Eomeoni. Aku dan dia beda kelas," jawab Hoseok dengan manisnya.

"Begitu rupanya," balas ibu lalu menatapku, "Ya sudah, ajak dia masuk. Eomma duluan."

"Ne, Eomma," kataku.

Hoseok menghela nafas, "Aku ingat momen ketika menjemputmu dengan mobil," ungkapnya sembari membenarkan posisi tas di punggungnya, "Oh iya, rumahku 'kan ada di sekitaran sini juga."

"Benarkah?"

"Iya, maka dari itu kapan-kapan datanglah."

"Akan kupikirkan."

"Ya sudah, masuk setelah itu ganti pakaian dan istirahat."

Demi apapun aku tidak menyangka kalau kami sudah menjadi sepasang kekasih. Mendapati Hoseok berperilaku manis seperti ini terasa sedikit aneh. Mungkin belum terbiasa.

Aku menganggukkan kepala sebagai respon atas ucapannya barusan. Tak lama dia mendekatkan wajah dan mencium bibirku sekilas lalu kabur begitu saja. Aku yang masih berada di tempat seketika mematung beberapa saat sebelum akhirnya bergegas masuk ke dalam rumah.

Hoseok-ah, karena kau, jantungku berdebar-debar tak karuan.

To Be Continue. . .

My Boyfriend is Blind ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang