Kids : Two

3K 301 12
                                    

Hye In POV.

Sekitar lebih dari 2 bulan Hoseok dirawat, akhirnya pihak rumah sakit memperbolehkannya pulang. Dan beberapa hari ini aku tengah mencoba mengajarkan dia mengenali beberapa tempat agar hafal serta terbiasa dengan keadaannya sekarang. Meski tempatnya sudah pernah dikunjungi pun tak'kan masalah. Siapa tahu sedikit ada perubahan.

Semua dimulai dari yang paling mudah terlebih dahulu, mengingat seisi rumahnya sendiri yang sudah diyakini tidak akan berubah tempatnya kecuali letak barang-barangnya, itu juga kalau di pindahkan.

Selama dia berusaha menghafal beberapa ruangan dan letak barang di rumahnya, aku terus memantau sambil duduk santai di sofa dengan kaki memanjang. Sesekali kuberi dia arahan sedikit agar tidak menabrak dinding atau barang yang ada.

"Ayo, teruslah. Masih jauh, Chagi,"

"Ya, belok kiri setelah itu jangan terlalu mendekat ke sebelah kananmu, ada nakas di sana."

"Apa masih jauh kamarku?" tanyanya berhenti sejenak.

"Tidak, hanya beberapa langkah lagi kau sampai."

DUG!

"Awh!"

"Omo!" ucapku bergegas berlari menghampirinya, "Gwaenchanha, Chagi-ya? Apa isseo-yo?" (Kau tidak apa-apa, Sayang? Apa ada yang sakit?)

"Kepalaku sedikit pusing."

"Kalau begitu, kita akhiri dulu. Ayo duduk," ajakku sambil menuntunnya.

"Omong-omong, aku membentur apa?" tanyanya setelah kami duduk.

"Dinding."

"Jinjja? Kenapa kau tidak bilang ada dinding di hadapanku?"

"Siapa suruh malah belok kanan? Kamarmu bukan di situ, tahu."

"Kau bilang hanya beberapa langkah, jadi aku menghitungnya. Lagipula, seingatku kamarku memang di situ."

"Kau kurang satu langkah, Chagi."

Dia menghela nafas berat, "Ternyata ini sulit, tidak semudah yang kubayangkan."

Aku tersenyum tipis menanggapi perkataannya. Setelah sekian lama, akhirnya dia mau menerima kenyataan pahitnya ini meski perlahan disertai keluhan setiap saat. Tak apa, begitu saja aku senang.

Karena dirinya, tentu hidupku juga ikut berubah. Biasanya aku diantar jemput olehnya, namun sekarang tidak. Semua selalu kulakukan seorang diri, termasuk jika ada sekumpulan pria menggodaku, aku yang harus melawannya.

Dulu ada pelindung, sekarang pelindung itu menghilang, lenyap karena takdir. Sedih memang. Tidak ada yang bisa dimintai bantuan kecuali Hoseok. Hanya dia yang paling dekat denganku.

Jujur, sampai saat ini pun aku belum siap menerima Hoseok sebagai seorang tunanetra. Sebab, kedepannya akan bergantung padaku nanti, apa-apa harus aku yang memulainya. Namun, inilah takdir. Sesuatu yang akan membuat kita menjadi lebih baik lagi di masa depan.

"Chagi, sekarang pukul berapa?" tanyanya santai.

"Empat sore," jawabku seadanya.

Seperti inilah yang akan terjadi setiap saat dalam hidupku. Melakukan sesuatu yang tidak bisa dia lakukan maupun dilihatnya. Pasti melelahkan.

Apa aku harus mengakhiri hubunganku dengannya?

Ah, tidak. Hanya karena alasan dia punya kekurangan, aku meninggalkannya? Egois itu namanya. Aku tidak mau dianggap demikian. Aku benci keegoisan.

My Boyfriend is Blind ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang