Suasana yang tadinya hening pecah oleh hardikan Kak Rania.
"Kahfi, Mama Papa nggak pernah ngajarin kamu ngomong kasar ke perempuan, cepat minta maaf ke Vita!
"Sekali nggak setuju aku tetap nggak setuju dia jadi perawat Mama!"
"Apa alasannya?"
"Dia bukan orang yang baik untuk merawat Mama, jangan-jangan nanti dia malah bikin Mama tambah sakit."
"Jaga mulutmu, Fi. Kamu tuh dokter tapi perkataanmu tidak mencerminkan profesimu. Walaupun Mbak baru kenal dia tapi Mbak percaya Vita anak baik. Mbak nggak tahu kalau kalian sudah saling mengenal sebelumnya. Sebenarnya ada masalah apa di antara kalian berdua?"
Kahfi hanya terdiam lalu melangkah cepat masuk ke dalam rumah, tak lama terdengar suara pintu kamar yang dibanting.
Aku tak tahu sebenci itu Kahfi padaku. Tapi aku juga tak tahu alasannya kenapa. Seingatku kami bahkan tidak pernah memiliki masalah besar atau pertengkaran hebat saat SMA dulu.
"Vit ada masalah apa sebenarnya di antara kalian?"
"Jujur aku juga nggak tau, Kak. Kami memang dulu teman SMA. Tapi seingat Vita, kami tidak ada masalah besar. Paling cuma saingan secara akademis. Itu pun wajar-wajar aja, Kak. Makanya Vita kaget Kahfi kok kayak benci sama Vita."
"Ya udah kalau gitu, tapi besok kamu tetap mulai kerja lho."
"Mm, Kak apa sebaiknya Vita ngundurin diri aja. Kahfi nggak setuju Vita kerja di sini. Daripada nanti suasananya malah jadi nggak enak. Biar Vita cari kerja di tempat lain aja, Kak."
"Ngomong apa kamu tho, Vit. Nggak, kamu nggak usah peduliin omongan Kahfi, dia emang orangnya temperamental. Pokoknya kamu tetap kerja disini. Yang penting aku sama Mama udah setuju."
"Tapi, Kak apa nggak sebaiknya..."
"Gini aja, kamu kerja dulu seminggu ini. Kalau emang nggak betah, Kakak nggak bakal ngelarang kamu nyari kerjaan lain. Terus, kalau Kahfi sampai macam-macam ke kamu, ngomong aja ke Kakak atau ke Papa. Please, Vit. Kakak berharap kamu mau terima. Mama setuju kan,Ma? Kak Rania bertanya pada Bu Widya yang dijawab dengan anggukan pelan.
"Tuh, Mama aja setuju. Kan kamu ngerawat Mama bukan Kahfi. Anggap aja dia nggak ada di rumah. Oke, Vit?"
"Baiklah, Kak aku coba jalani seminggu dulu."
"Nah gitu dong," Kak Rania nampak tersenyum puas karena berhasil membujukku.
Kak Rania lalu melihat jam tangannya," Wah aku mesti balik ke rumah sakit sekarang. Ayo, Vit aku anter kamu pulang sekalian."
"Iya, Kak."
Aku lalu berpamitan pada Bu Widya dan Mbok Rami, baru kemudian mengikuti Kak Rania keluar rumah. Ah apa aku salah ya kerja disini? Memang nasib orang nggak punya, mau kerja aja dipersulit. Bantulah hambaMu ini ya Allah...
()()()()()()()
Kak Rania mengantarku sampai depan rumah tapi tidak mampir karena terburu-buru ke rumah sakit, ada operasi katanya. Setelah shalat dzuhur dan makan siang, aku membantu Mbah tuthuk emping. Tuthuk itu istilah di daerahku. Berasal dari kata menuthuk yang dalam bahasa Jawa yang artinya memukul. Jadi tuthuk emping itu maksudnya kegiatan memukul-mukul biji melinjo supaya menjadi emping. Sudah hampir setahun terakhir ini, untuk menambah penghasilan, kami mengambil biji melinjo dari juragan emping. Biji melinjo itu kami jadikan emping terlebih dulu baru disetorkan kembali ke juragan. Biasanya seminggu sekali, di hari sabtu atau minggu kami mengantarkan emping ke rumah juragan emping. Nanti kami akan mendapat upah sesuai dengan banyaknya emping yang kami bawa. Terkadang ada pula tetangga yang membawa melinjo ke rumah untuk dijadikan emping, biasanya kalau mau ada acara keluarga atau bisa juga untuk oleh-oleh. Walaupun tidak banyak upahnya tapi lumayan lah, hasil tuthuk emping bisa untuk uang saku Risa atau untuk membeli sayur, beras dan tahu tempe untuk makan sehari-hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Impression
ChickLitSemangat seorang Vita Prameswari begitu menggebu untuk mengukir masa depan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tapi hidup ini memang penuh dengan kejutan yang terkadang tak pernah terpikirkan. Jalan kehidupan yang berliku membawanya bertemu...