Separuh sisa perjalanan kami lalui dengan keheningan. Tapi begitu memasuki gang dekat rumahku, Kahfi kembali bertanya,
"Kamu masih sakit hati sama aku?""....."
Ya menurut situ aja, siapa coba yang nggak sakit hati udah dibentak-bentak dan dituduh macam-macam. Orangtuakua aja nggak pernah marahin aku segitunya.
"Jangan diem aja dong, Vit."
Walaupun bibir ini sebenarnya malas ngomong tapi aku perlu menjawab, Kahfi juga perlu tahu perasaanku yang sebenarnya.
"Jujur sih iya. Aku memang sudah memaafkan tapi untuk melupakan itu yang sulit.""Aku...maklum kamu mungkin masih sakit hati ke aku dan butuh waktu buat nyembuhinnya, tapi bisa kan aku jadi sahabat kamu?"
"Bukannya emang udah?", tanyaku ketus.
"Duh, kamu kalau lagi lemot gini lama-lama ngeselin ya," sindirnya.
Helloooow, jadi teman aja berantem terus tiap ketemu, eh dia minta jadi sahabat...
"Kalau kamu perlu penjelasan, arti sahabat itu tingkat keakrabannya lebih dibanding teman," tambahnya lagi lalu tertawa kecil melihatku mencebik mendengar penjelasannya.
"Katanya antara laki-laki dan perempuan nggak ada tuh namanya yang murni sahabatan. Jadi menurutku nggak penting juga sahabatan sama kamu," tukasku dengan nada sinis.
"Oo, jelas penting dong. Kan emang tujuanku tuh sahabat dengan rasa yang lebih. Ngerti nggak sih?", tanyanya dengan mata berkilat jahil.
"Ngerti...ngerti! Makanya kamu sahabatan aja sama micin sana biar rasanya berlebih."
Kahfi menatapku malas, "He eh lucu ya, Vit."
"Iya lucu yang kriuk saking garingnya," balasku tak mau kalah.
"Ngomong-ngomong soal kriuk, aku laper nih."
"Bukannya kamu udah makan tadi? Makanya nggak usah sok-sok maksa nganterin orang."
"Ck susah ngomong sama orang lemot, maksud aku, boleh nggak aku makan malam di rumah kamu? Kangen masakan kamu nih."
"Halah, alasan aja! Kamu makan di rumahmu aja, di rumahku nggak kayak di rumahmu, makannya seadanya. Nanti kalau kamu nggak cocok lauknya malah sakit perut."
Dia terbahak mendengar sindiranku. Aku rasa dia benar-benar mengalami gangguan di otaknya, sikapnya benar-benar aneh hari ini.
"Nggak masalah. Boleh ya?", tanyanya lagi setelah menghentikan mobilnya di depan rumahku.
Aku masih bersikeras menolaknya, sudah cukup dia mengganggu waktuku hari ini. Enak saja dia juga masih mau mengganggu waktuku di rumah.
"Kamu langsung pulang aja deh," usirku.
Walaupun dengan raut wajah yang kecewa, dia mencoba mengalah dan tidak memaksa.
"Ya udah," jawabnya pelan.
***
Tapi rupanya aku tidak dapat menebak Kahfi. Karena begitu aku turun dari mobil, dia juga mengikutiku turun dan menjejeri langkahku melintasi halaman menuju rumah.
"Ish, ngapain ikut turun sih?", tanyaku sengit.
"Mau pamit sama Mbah," jawabnya tenang.
"Ntar aku yang bilangin ke Mbah, udah kamu pulang aja, Fi."
"Iya, habis pamit sama Mbah aku pulang kok.Tenang aja."
"Aku kok jadi curiga ya," kataku sambil menyipitkan mata padanya tapi diacuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Impression
ChickLitSemangat seorang Vita Prameswari begitu menggebu untuk mengukir masa depan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tapi hidup ini memang penuh dengan kejutan yang terkadang tak pernah terpikirkan. Jalan kehidupan yang berliku membawanya bertemu...