Hari kelima aku berangkat kerja dengan badan yang agak lesu. Kemarin aku pulang kerja jam tujuh malam karena baru menjelang isya, aku selesai memasak berbagai masakan untuk menjamu kekasih Kahfi. Ketika pulang, aku disambut Mbah yang duduk di dipan bambu di depan rumah. Mbah khawatir karena aku belum juga pulang saat malam menjelang. Baru aku membuka pintu pagar, beliau sudah menghampiriku. Raut wajahnya penuh dengan kekhawatiran.
"Nduk ,Vita kok baru pulang?"
"Iya, Mbah."
"Mbah cemas banget, kamu biasanya habis ashar udah pulang. Mbah takut kamu kenapa-kenapa di jalan. Mana Mbah ndak tau kamu kerjanya dimana. Cuma bisa berdo'a sama Gusti Allah supaya ngelindungin kamu. Alhamdulillah kamu udah pulang."
"Tadi Vita dapat kerjaan tambahan, Mbah. Disuruh masak soalnya mau ada acara malam ini."
"Masaknya banyak ya? Kamu sendiri yang ngerjain?"
"Iya, ada beberapa macam masakan, Mbah. Lumayan banyak. Tapi Vita sudah makan di sana tadi."
"Woo, ya sudah kamu pasti capek. Mandi dulu, Nduk terus istirahat."
"Iya, tapi habis Vita mandi, Mbah makan ya, Vita temani."
Aku tahu Mbah pasti belum makan. Kalau anggota keluarganya belum lengkap di rumah, beliau memilih menahan lapar sampai yang ditunggu sudah selamat sampai di rumah. Salah satu bentuk kasih sayang tulus dari Mbah yang tak akan kulupa.
***
Pagi ini aku disambut dengan piring-piring dan gelas-gelas kotor yang masih menumpuk di bak pencucian piring. Kuhela nafas dan mencoba menyemangati diri lalu memulai pekerjaan bersih-bersih hari ini. Bu Widya masih belum bangun tidur, kata Pak Hari setelah shalat subuh tadi Bu Widya memang tidur lagi. Suasana rumah sangat sepi, hanya sesekali terdengar suara dentingan sendok, gelas dan piring serta kecipak air.
Kuselesaikan pekerjaanku di dapur. Di atas kompor masih ada panci-panci. Rupanya sayur dan lauk masih tersisa dari acara semalam. Syukurlah aku jadinya tak perlu memasak untuk makan siang.
Aku lanjut mengambil baju-baju kotor di keranjang tempat cucian kotor yang terletak dekat kamar mandi. Untungnya karena setiap hari dicuci, pakaian kotornya tidak banyak.
Aku kemarin sudah mulai mencari pekerjaan baru, karena dua hari lagi aku akan keluar dari sini. Aku juga bertanya pada teman-teman seangkatanku, sekiranya mereka memiliki informasi lowongan pekerjaan. Terkadang aku iri dengan mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan tetap dengan gaji yang lumayan. Apalagi zaman sekarang adalah zaman sosial media. Segala informasi dapat kita temukan dengan mudah lewat internet. Internet yang mudah diakses zaman sekarang bagaikan pedang bermata dua, ada sisi positif dan negatifnya.
Seperti ketika aku membuka-buka sosial media, ada saja postingan-postingan yang membuat iri. Dari sebuah foto bisa memicu kecemburuan, entah karena pekerjaan, pasangan, harta, rumah, liburan bahkan buah hati yang lucu dan menggemaskan.
Aku berandai-andai, seandainya kedua orangtuaku masih lengkap, pasti hidupku akan berbeda. Aku tidak perlu membanting tulang mencari uang dan setelah lulus dari SMA aku bisa langsung kuliah. Aku cukup fokus ke sekolahku dan aku bisa bermain-main selayaknya anak sekolah yang seumuran denganku. Tapi siapa yang mau kusalahkan? Tuhan? Tidak mungkin.
Untuk melapangkan hati yang bisa kulakukan hanya beristigfar, mencoba ikhlas menjalani segala ketentuan Allah yang telah ditetapkan untukku.
Suara kursi roda di kamar mengejutkanku. Segera ku berlari menuju kamar Bu Widya. Begitu kubuka pintu kamar, hatiku berdesir melihat Bu Widya sedang berusaha duduk di kursi roda sendiri. Ini kemajuan yang cukup besar. Aku menunggunya duduk dulu baru berbicara, aku takut Bu Widya terkejut lalu terjatuh kalau aku menegurnya tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Impression
ChickLitSemangat seorang Vita Prameswari begitu menggebu untuk mengukir masa depan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tapi hidup ini memang penuh dengan kejutan yang terkadang tak pernah terpikirkan. Jalan kehidupan yang berliku membawanya bertemu...