WI 14

10.7K 923 11
                                    

Sesuai pesan fisioterapis dari rumah sakit, sudah tiga hari ini, setelah sarapan aku mengajak Bu Widya berlatih untuk berjalan. Bu Widya sudah bisa berdiri sendiri, tapi untuk melangkah masih agak berat. Mungkin juga ada rasa takut jatuh karena hilang keseimbangan. Aku memakluminya dan berusaha terus memotivasi dan membuat Bu Widya berani untuk melangkah tanpa alat bantu.

"Pelan-pelan aja, Bu. Ya...angkat kaki kanannya buat melangkah..."

"Jangan takut jatuh. Vita disini. Iya kayak gitu. Selangkah aja dulu, Bu.

Bu Widya melangkah tapi masih agak gemetaran, membuat beliau hampir jatuh. Aku segera menangkap tubuh Bu Widya dan menahannya.
"Nggak papa...nggak papa, dicoba lagi ya."

Setelah beberapa kali mencoba, Bu Widya akhirnya berhasil juga.
"Iya...bagus, hebat Bu, nggak papa selangkah dulu."

Nafas Bu Widya terengah-engah, segera kuajak beristirahat.
"Ibu capek nggak? Kita istirahat dulu aja. Ini, minum dulu. Sampai keringetan gini," kataku mengulurkan segelas air sambil mengelap bulir-bulir keringat di kening Bu Widya.

"Tapi udah hebat, Bu. Kan nggak bisa langsung jalan gitu. Yang penting rajin latihan, Vita yakin pasti nggak lama lagi Ibu bisa jalan lagi."

Bu Widya menyerahkan kembali gelas tadi padaku lalu tersenyum menjawab,
"I..ya."

***

"Ma... Mama dimana?"

Suara yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah memanggil-manggil, membuatku dan Bu Widya seketika berpandangan

"Siapa ya, Bu. Bentar Vita lihat dulu."

Aku baru membuka pintu kamar saat kulihat Luna berdiri di ruang tengah, menenteng kantong plastik besar berwarna putih.
"Oh, Mbak Luna. Ibu di kamar, Mbak."

Dia menatapku sekilas saat melewatiku, masuk ke dalam kamar.
"Ma...ini Luna bawa kue sama buah buat Mama."

"Ma...kasih," jawab Bu Widya terbata.

Melihat kening Bu Widya yang berkeringat, Luna nampak terkejut dan segera mengeluarkan tissue dari dalam tasnya.
"Loh, Mama kok keringetan gini? Kamu suruh Mama ngapain aja sampai capek gini. Mama kan masih sakit, jangan dipaksain dong. Kamu gimana sih?"

Aku berusaha menjelaskan.
"Nggak gitu Mbak, kan Bu Widya emang ada porsi latihan setiap harinya."

Dia masih terus saja menatapku sinis dan menyalahkanku.
"Halah, kamu bisanya ngeles aja. Kerjaan kamu tuh cuma ngerawat Mama, bukan maksain Mama buat aktivitas yang berat."

Aku menarik nafas dalam-dalam, dan menjelaskan lagi.
"Gini ya, Mbak. Dari fisioterapis di rumah sakit emang disaranin supaya Ibu sering latihan gerak."

"Ah nggak guna ngomong sama kamu," katanya dengan wajah yang masam.

Sepertinya aku ini tak memiliki derajat yang setara dengannya karena dia selalu menatapku dengan pandangan yang merendahkan.

"Mama makan kuenya ya, Luna potongin."

Bu Widya mengangkat tangannya menolak, "Buah aja."

Luna menoleh ke arahku, memerintah.
"Cepetan ambilin pisau, garpu sama piring, Mama mau makan buah."

"Iya, Mbak."

Aku segera mengambilkan permintaannya.

"Ini, Mbak," kuangsurkan pisau, garpu dan piring.

Sambil mengupas dan memotong buah, Luna kembali menyindirku.
"Mama tuh lebih cepat sehat kalau makan makanan sehat kayak gini. Bukannya dipaksa-paksa latihan nggak jelas kayak tadi. Lagian Mama kan udah terapi juga di rumah sakit."

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang