WI 20

11.1K 888 1
                                    

"Maksud bulek?"

Bulek Sri mengambil dompetnya dari dalam tas lalu menjawab, "Ya selama ini sepengetahuan Bulek, kamu ndak pernah berusaha nyari tahu kabar bapak kamu."

"Bukannya Bapak udah bahagia sama keluarga barunya ya?"

Aku tahu pertanyaanku barusan terkesan sinis tapi aku tak bisa menahan gejolak emosi kalau sudah menyinggung masalah Bapak. Bulek Sri juga nampak terkejut dan segera menggamit tanganku menjauh dari lalu lalang orang karena sedari tadi kami berada di jalanan pasar.

"Ndak enak ngomong masalah itu disini, kita ke ngobrol disitu aja, Vit," ajak Bulek Sri mengajakku ke penjual dawet.

Dia lalu memesan dua gelas dawet untuk kami berdua lalu melanjutkan ceritanya tadi yang sempat tertunda sambil sesekali menyeruput es dawet. Aku sebenarnya tak merasa haus tapi aku ikut duduk di samping Bulek dan menerima uluran gelas  dari ibu penjual dawet.

"Mas Harso sudah cerai dengan istri keduanya, Vit. Dia juga menderita selama ini. Perempuan itu ternyata cuma ngincer uang bapak kamu. Dan setelah hartanya habis, ditinggalin gitu aja. Bapak kamu malu, mau nemuin kamu tapi nggak bisa ngasih apa-apa tapi yang lebih besar lagi ya penyesalannya karena udah ninggalin kalian."

Sesungguhnya es dawet ini enak dan menyegarkan. Kalau saja bahan pembicaraan kami berbeda, aku pasti sudah sejak tadi menghabiskannya. Tapi rupanya es dawet ini tak cukup untuk mendinginkan hatiku yang terlanjur panas.

"Kami nggak pernah minta apa-apa ke Bapak kok, Bulek. Kami cuma pengen Bapak ada buat kami, tapi nyatanya Bapak nggak bisa karena kami mungkin bukan prioritas buat Bapak. Selama ini kami sudah menyadari itu, jadi walaupun pahit ya kami terima dan kami jalani," balasku sengit.

"Ya ojo ngomong ngono to, Nduk, namanya orang tua, udah ngerasa bersalah karena ninggalin anaknya, pengennya ngasih sesuatu gitu sebagai tanda permintaan maaf. Bapakmu mungkin pernah khilaf, Nduk tapi dia menyesal dan pengen dapat kesempatan kedua, pengen sama-sama lagi sama anak-anaknya. Makanya dia juga pernah sekali ke rumah Mbahmu mau nengokin kalian, tapi nggak tau habis dari sana, dia kayak sedih banget. Terus nggak lama, dia diajak temannya ke Malaysia, kerja jadi TKI di perkebunan kelapa sawit disana. Udah dua tahunan ndak pulang kesini."

Tak pernah kubayangkan, Bapak sampai harus menjadi TKI ke luar negeri, yang kutahu selama ini dia sudah bahagia bersama keluarga barunya. Dan yang membuatku tambah kaget yaitu mendengar Bapak pernah mengunjungi kami, aku mesti menanyakan hal ini nanti ke Mbah. Walaupun sebesar apapun rasa benciku di masa lalu, tapi aku juga tetap ingin tahu keadaan Bapak saat ini.

"Terus sekarang masih di Malaysia, Bulek?"

Mata Bulek Sri berkaca-kaca membuatku tambah khawatir akan kabar Bapak.
"Ndak tahu, Nduk, katanya sempat ketangkap sama polisi diraja Malaysia soalnya ada masalah sama paspor apa surat-surat gitu jadinya dianggap TKI gelap. Terus mau dipulangin ke Indonesia bulan depan. Tapi Bulek ndak tahu pasti tanggal berapa dipulanginnya."

Aku mengangguk-ngangguk, berusaha memahami banyaknya informasi yang tiba-tiba saja muncul.
"Semoga Bapak baik-baik aja, Bulek punya nomer hapenya Bapak nggak?"

Wajah Bulek Sri seketika kembali keruh.
"Punya tapi udah sebulanan ini ndak aktif. Eh bentar, Nduk, Om mu nelfon nih," kata Bulek Sri seraya mengambil hapenya yang berbunyi nyaring dari dalam tas kecil yang dibawanya.

"Vita, Bulek pulang duluan ya, Om Senomu marah kelamaan nungguin di parkiran. Kapan-kapan kamu main-main ke rumah ya. Sama adikmu juga."

"InshaAllah. Vita minta nomer hapenya, Bulek."

"Oiya, ini. Nanti kalau ada kabar dari Mas Harso tak kabari maneh ya, Nduk."

"Iya, Bulek, maturnuwun."

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang