Kubuka pintu kamar perlahan lalu masuk ke dalamnya. Bu Widya nampak berbaring di tempat tidur tapi matanya tidak terpejam, menatap langit-langit kamar. Mendengar suara pintu, beliau menoleh. Begitu melihatku matanya membesar dan senyumnya langsung mengembang. Langkahku kupercepat menghampiri Bu Widya dan memeluknya erat, merasakan luapan kasih sayang seorang ibu.
"Vi...ta," panggilnya lirih.
Suaraku tercekat karena rasa haru. Aku merasa perlu minta maaf karena membuat beliau bersedih seperti seorang ibu yang kehilangan anak yang disayanginya. "Bu, Vita minta maaf sudah bikin Ibu sedih."
Kami masih berpelukan dengan air mata yang mengalir di pipi, padahal baru sehari tidak berjumpa tapi rasanya seperti sudah lama berpisah. Mungkin karena sudah seminggu kami selalu bersama jadi keterikatan secara emosional tak dapat terelakkan.
Setelah beberapa saat, tangis kami mereda, aku menguraikan pelukan tapi sebelah tanganku masih merangkul bahu Bu Widya dan mengelus lengannya perlahan. Sedangkan tangan yang satu lagi mengusap air mata di pipinya.
"Be...nar kata Ba...pak?" tanya Bu Widya dengan nada suara yang khawatir.
Aku lalu menjelaskan supaya beliau bisa tenang,"Tadinya Vita dapat panggilan kerja di klinik bersalin, Bu. Tapi nggak jadi soalnya mereka ternyata nyarinya bidan sedangkan Vita kan perawat."
"Ndak ja...di ber...henti?", tanya Bu Widya lagi.
"Nggak, besok Vita kesini lagi lanjut kerja disini, nemenin ibu sampai ibu sembuh. Ibu jangan sedih lagi. Kata Bapak, Ibu belum makan ya. Vita suapin ya, Bu?"
Beliau mengangguk tapi air matanya masih mengalir. Aku mengelus-elus punggungnya sambil berusaha menghiburnya. Setelah beliau tenang, aku keluar dari kamar mengambilkan makanan.
Begitu keluar kamar, kulihat Kahfi duduk menemani Risa menonton TV. Karena rumah ini berlangganan TV kabel, jadi ada saluran yang khusus menayangkan kartun selama dua puluh empat jam.
"Mas ini kartun apa?", tanya Risa sembari memakan es krim yang dibelikan Kahfi tadi.
Kening Kahfi mengerut, "Nggak tau, dek. Tentang kuda-kuda gitu. Tapi ini masa kuda kok rambutnya warna-warni."
Risa memandang Kahfi dengan tatapan mencela seolah hanya Kahfi saja yang tidak tahu judul film kartun itu. Ternyata dia tadi bukan bertanya tapi mengetes.
"Mas masa nggak tahu sih, ini kartun Pony.""Udah tau judulnya ngapain nanya sih dek," jawab Kahfi dengan nada suara yang datar.
Aku tersenyum mengamati mereka sambil menutup pintu kamar.
"Dijaga omongannya kalau sama anak kecil," kataku sambil lalu menuju ke dapur.Kahfi hanya melirikku, lalu kembali menatap ke layar TV.
Karena Risa memang tidak betah diam, tak lama kemudian dia kembali berkomentar,
"Mas, kok TVnya gede banget disini? Bisa nempel di dinding gitu, dilem ya, Mas? Kalau di rumah, TVnya kecil, kadang mesti dipukul dulu baru bisa nyala."Risa...Risa..kok yang begitu mesti juga diceritain...
Aku melihat Kahfi mengulum senyum lalu menjawab,
"Wah, TV antik itu, dek kayak Mbakmu."Aku mendelik mendengar perkataan Kahfi. Enak aja ngatain orang, justru dia itu yang lebih antik.
Wajah Risa nampak bingung,
"Antik tuh apa, Mas?""Antik itu aneh," jawab Kahfi sekenanya.
"Tapi Mbak Vita nggak aneh kok, masa orang disamain sama TV," protes Risa.
Pinter kamu, dek....
Kahfi terdiam, mungkin menahan kesal karena tidak terbiasa menghadapi anak kecil yang ceriwis seperti Risa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Impression
ChickLitSemangat seorang Vita Prameswari begitu menggebu untuk mengukir masa depan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tapi hidup ini memang penuh dengan kejutan yang terkadang tak pernah terpikirkan. Jalan kehidupan yang berliku membawanya bertemu...