WI 19

10K 907 12
                                    

Kupandangi air hujan yang dengan deras tercurah dari langit. Memang sekarang sudah musimnya sih jadi siang dikit pasti turun hujan, tapi payung lipatku malah kupinjamkan ke Risa. Sepertinya aku harus segera membeli payung lipat lagi. Kalau tidak aku akan sering berakhir seperti ini, terjebak hujan deras dan nggak bisa kemana-mana.

Sedang serius merenung, ada yang mencolek bahuku.

"Vita!!"

Aku tergeragap, menoleh ke belakang dan kudapati Hilda sedang terkikik geli karena merasa berhasil mengagetkanku. Ya, walaupun pertemuan awal kami kurang begitu menyenangkan, sekarang malah hubungan kami sangat baik sebagai teman.

"Kenapa sih, Hil? Usil banget ngagetin," rajukku sambil mengerucutkan bibir.

Hilda tersenyum menanggapiku, "Mau pulang bareng nggak?"

Memang sebelum ini, kami belum pernah pulang bersama, karena arah rumah kami yang berlawanan arah. Dia ke timur sementara aku ke barat. Jadi walaupun dia menawarkan, aku akan menolaknya secara halus, tak ingin merepotkan.
"Ah nggak usaah, kan nggak searah, Hil."

"Nggak pa-pa, aku anterin, tuh liat hujan deras di luar. Sekalian aku pengen tau rumah kamu."

"Eh ngrepotin ntar, Hil."

"Ih kamu ribet banget deh, Vit. Ayo!", jawab Hilda tak sabar.

Dia menarik tanganku ke arah parkiran untuk karyawan rumah sakit. Senangnya yang memiliki mobil di kala hujan begini, nggak bakal kebasahan. Di sepanjang perjalanan, Hilda menyetel radio yang sedang menyiarkan acara request lagu yang sedang hits saat ini.

"Kamu berapa bersaudara, Hil?", tanyaku membuat Hilda menoleh tapi lalu kembali menatap ke depan.

"Aku? Aku cuma berdua sama kakak aku. Tapi Kak Stevi udah nikah dan ikut suaminya ke Amerika."

Aku mengangguk singkat mendengar jawabannya.
"Jadi di rumah sama ortu aja dong," simpulku.

Ada jeda sebelum Hilda menjawab lagi.
"Papa sama Mama sibuk terus, jarang bisa ngumpul sekeluarga. Seringnya di rumah sama Mbak Rahmi."

"Siapa tuh?"

"Mbak yang bantu-bantu di rumah."

"Ooh..."

Sepertinya Hilda merasa kesepian di rumah. Aku memahami apa yang dia rasakan. Tak lama dia balik bertanya.
"Kalau kamu, Vit."

"Aku tinggal sama Mbah sama adik perempuanku. Nanti aku kenalin deh."

"Aku kadang suka males pulang kalau inget di rumah sepi. Jadi nggak kerasan."

Aku mengarahkan Hilda memasuki gang ke arah rumahku.
"Ya main aja ke rumahku, nginep kalau perlu. Tapi ya gitu, makanannya seadanya sama tempat tidurnya cuma kasur tipis."

"Beneran, Vit? Oke kapan-kapan aku nginep ya," jawab Hilda antusias.

"Iyaaa, tenang aja, pintu rumah kami selalu terbuka kok. Mampir dulu yuk, Hil," tawarku saat mobil Hilda berhenti di depan rumahku.

"Boleh deh."

Berdua kami turun dari mobil dan memakai payung Hilda menembus derasnya hujan. Sampai di depan rumah, Mbah membukakan pintu, menyambut kami.
"Kamu hujan-hujan kok nekat pulang to, Nduk?," tanya Mbah dengan nada khawatir.

Aku mengebas-ngebaskan bagian baju yang basah terkena hujan dan mengajak Hilda masuk ke dalam rumah.
"Mbah, kenalin ini Hilda, teman kerja Vita di rumah sakit. Tadi Hilda yang nganterin Vita jadi Vita nggak kehujanan di jalan."

"Oalah, maturnuwun ya cah ayu dah nganterin Vita hujan-hujan gini."

Hilda menyalami tangan Mbah yang tersenyum ramah padanya.
"Mbothen napa-napa, Mbah, sekalian saya pengen main kesini."

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang