Hatiku harap-harap cemas menantikan Mas Wira yang kata Kak Rania akan menjemputku. Sejak tadi selesai bersiap, hatiku mulai tak tenang. Sebenarnya ada apa ini, kok perasaanku jadi tak enak. Apa telah terjadi sesuatu pada Bu Widya atau jangan-jangan....malah Kahfi? Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Ah tidak....tidak, aku mesti berpikiran positif...
Tapi nyatanya tak bisa karena seingatku di telfon tadi nada suara Kak Rania terdengar panik. Larut dalam pemikiranku, aku terkejut saat mendengar suara klakson dari mobil Mas Wira.
Tergeragap, aku segera menyambar tas yang kuletakkan di sampingku lalu memastikan pintu rumah sudah terkunci karena tak ada orang di rumah. Saat aku pulang kerja tadi, rumah sudah kosong. Untungnya aku selalu membawa kunci serep. Sepertinya Bapak sedang mengajak Risa jalan-jalan entah kemana, sedangkan Mbah juga belum pulang dari sawah.
Aku beranjak mendekat ke mobil berwarna silver itu. Begitu aku mendekat, kaca jendela mobil diturunkan dan Mas Wira menyapaku.
"Udah siap, Vit?"
"Hah, oh, iya, Mas. Lho, Bu, Pak? Ibu Bapak ikut juga?"
Aku terkejut mendapati ternyata Pak Hari dan Bu Widya juga ikut. Pak Hari duduk di depan di sebelah Mas Wira. Aku membuka pintu tengah mobil dan bergabung duduk di samping Bu Widya. Kusalimi tangan Bu Widya dan Pak Hari dengan takzim. Wajah mereka berdua nampak tegang. Nampaknya memang telah terjadi sesuatu.
"Kak Rania nggak ikut, Mas?"
"Rania di rumah, Vit."
"Emang ada apa sih, Mas? Aku tadi baru aja pulang kerja tau-tau Kak Rania nelfon katanya aku disuruh nunggu."
Aku masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Dalam benakku berkecamuk pemikiran tentang sesuatu yang kutakutkan tapi enggan kusuarakan. Mas Wira belum menjawab pertanyaanku saat kudengar suara isak tangis Bu Widya yang pecah. Spontan aku merengkuh beliau dalam pelukanku.
"Lho Ibu kok nangis? Pak, Mas tolong jawab Vita. Sebenarnya apa yang terjadi?"
Pak Hari bungkam tapi kulihat dari kaca spion matanya juga mulai basah. Mas Wira yang nampak serba salah akhirnya memberitahuku.
"Ini kita mau ke Jogja, Vit. Kami dapat kabar tadi pagi Kahfi kecelakaan dan sekarang dirawat di rumah sakit."
Jantungku seakan diremas saat mendengar perkataan Mas Wira.
"Astagfirullah, ya Allah. Terus sekarang gimana keadaan Kahfi, Mas? Dia...dia udah baik-baik aja kan?", tanyaku terbata, masih shock dengan kabar yang baru saja kudengar."Mas juga nggak tau, Vit. Kami juga dapat kabarnya tiba-tiba. Menurut seorang teman Kahfi yang ada disana, dia sudah ditangani. Rania tadi udah panik aja dan ngotot pengen ikut. Tapi Mas larang, khawatir sama kandungannya. Kalau gitu kita berangkat sekarang ya."
Aku mengangguk sembari terus berusaha menenangkan Bu Widya, walaupun suaraku sendiri bergetar. Ketakutanku telah menjadi nyata. Kini bukan hanya ketakutan yang bercokol di benakku, tapi juga penyesalan. Penyesalan akan sikapku yang tak baik pada Kahfi kali terakhir dia menelfon.
"Udah, Bu yang sabar ya. Kita berdoa supaya Kahfi nggak kenapa-kenapa dan cepat pulih seperti sedia kala."
"Kah...fi.... Kah...fi....", isak Bu Widya.
"Iya, Bu, sabar ya, Bu."
Aku yang awalnya berusaha menenangkan Bu Widya malah ikut menangis sambil memeluk beliau. Pak Hari yang duduk di samping Mas Wira juga terdiam sepanjang perjalanan.
Aku maklum orangtua mana yang tidak akan khawatir apalagi mendapat kabar anaknya kecelakaan. Sepanjang perjalanan aku hanya dapat memanjatkan do'a untuk Kahfi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Impression
ChickLitSemangat seorang Vita Prameswari begitu menggebu untuk mengukir masa depan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tapi hidup ini memang penuh dengan kejutan yang terkadang tak pernah terpikirkan. Jalan kehidupan yang berliku membawanya bertemu...