WI 25

10.6K 839 18
                                    

"Pamit? Mau kemana emangnya kamu?"

Senyum jahil seketika terbit di bibir Kahfi saat menoleh menatapku.
"Kenapa, kamu takut kangen sama aku ya?",tanyanya dengan tengil dan alis yang dinaikturunkan.

Mataku sontak mendelik mendengar tingkat pede Kahfi yang selangit.
"Ck..nih orang bener-bener ya..."

Kahfi kembali menatap lurus ke depan, lalu menjelaskan tentang kepergiannya yang menurutku terkesan mendadak.
"Aku mulai minggu depan udah mulai pendidikan spesialisku di salah satu PTN di Jogja."

Kukira dia masih ingin melanjutkan penjelasannya, makanya aku mendengarkan dalam diam. Tapi malah dikiranya aku mendiamkannya.

"Kok diem aja, nggak ada tanggapan?"

"Hmm, ya...ya bagus dong, tapi Fi bukannya lebih baik kalau kamu mikir-mikir lagi, nggak usah dengerin saran dariku. Baiknya kamu tuh ikutin kata hati kamu," kataku berusaha membuatnya berubah pikiran.

Aku tak ingin dia mendengar saran sepintas lalu yang kuberikan dulu terlebih ini menyangkut masa depannya. Alangkah baiknya kalau dia bisa menjalani pekerjaan yang memang benar-benar disukainya.

Kahfi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa kecil, "Duh lemot kesayangaaan......., kan baru dibilangin minggu depan mulai pendidikan. Udah telat buat mikir-mikir, lagian aku udah daftar beberapa bulan yang lalu kok.Kamu jangan ge-er dong."

Emosiku naik lagi, "Apa kamu bilang?"

Segera Kahfi mengangkat kedua tangannya berusaha menenangkanku kembali.
"Jangan marah dulu....., gini, aku emang sebelumnya tuh dari dua pilihan antara penyakit dalam dan jantung, aku lebih condong ke penyakit dalam. Terus dikuatin lagi sama saran dari kamu dan aku shalat istikharah sampai aku benar-benar yakin. Jadi saran kamu itu salah satu faktor penentu, bukan satu-satunya faktor,"jelasnya panjang lebar.

Wajahku memanas, aku tak tahu mesti berkata apalagi, bisa-bisa aku kembali mempermalukan diri sendiri seperti tadi.

Kahfi menghela nafas dan mengeluh,"Yaah dia tersinggung lagi deh."

"Siapa yang tersinggung?", balasku sengit.

"Dari mukamu kelihatan kok."

"Tau ah."

Lebih baik aku diam saja, perasaanku saat ini campur aduk. Tadi aku baru saja begitu bahagia bertemu dengan bapak. Tapi sekarang, entah perasaan apa yang lebih mendominasi.

"Ucapin selamat kek semoga sukses  pendidikannya kek," celetuk Kahfi ketika dirasanya aku kembali terdiam.

"Idiih maksa banget, ya udah selamat dan semoga sukses pendidikannya."

Mata Kahfi berbinar, "Kamu tunggu aku ya."

Aku yang tadinya menunduk memilin-milin jari kembali menoleh, "Ih, emang ngapain aku nunggu kamu."

"Kan calon suaminya mau sekolah dulu."

"Calon suaminya siapa?"

"Calon suami kamu dong. Apalagi sekarang Bapakmu udah balik ke Indonesia, aku jadi tau mesti melamar kemana."

"Bercandamu nggak lucu, Fi."

Muka jahil Kahfi tiba-tiba saja berganti menjadi raut serius membuatku hampir percaya dengan apa yang barusan diucapkannya.
"Emang nggak lucu karena aku serius sama apa yang aku omongin barusan."

"Kamu...kamu ngigau ya? Siapa yang mau nikah sama kamu?"

"Ya kamu lah."

" Nggak, aku nggak mau."

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang