Pagi ini ada yang tak biasa di rumah kami. Bapak hari ini akan berangkat ke Gunung Kidul. Beliau bersama teman-temannya rencananya bekerja selama 2-3 bulan karena ada proyek pembangunan sebuah sekolah dasar disana. Risa yang sudah diberitahu dari kemarin terus saja murung karena akan ditinggal Bapak lagi. Selama dua minggu terakhir, Risa memang manja sekali ke Bapak. Tiap malam, Bapak selalu disuruh bercerita, seringnya tentang keseharian Ibu dulu seperti apa, atau juga pengalaman ketika Bapak bekerja di Malaysia. Kalau Bapak sudah mulai bercerita, Risa akan mendengarkan dengan seksama sambil memeluk boneka kelincinya, walaupun tak jarang cerita belum selesai, dia sudah tertidur duluan.
Selama tinggal di rumah Mbah, Bapak juga terus berusaha mengambil hati Mbah. Antara lain dengan memperbaiki perabot rumah yang sudah hampir rusak, membuat kandang untuk ayam-ayam Mbah yang sudah semakin banyak, atau sekedar mengajak Mbah ngobrol. Mbah awalnya masih menjaga jarak dan tak menanggapi jika Bapak mengajak ngobrol. Tapi makin kesini, Mbah sudah mau sedikit berbincang dengan Bapak. Kadang juga kalau aku masuk malam, paginya Mbah akan membuatkan kopi dan sarapan untuk Bapak. Melihat perkembangan yang baik dari interaksi Bapak dan Mbah membuatku sangat bersyukur. Bapak juga sekarang tiap hari Kamis tak absen nyekar ke makam Ibu. Kalau sudah di makam Ibu, setelah mendoakan Ibu, Bapak juga seringkali bercerita tentang keadaan keluarga kami sekarang, sampai tak sadar matanya telah memerah dan air mata mengalir di pipinya karena mengenang almarhumah ibu. Membuatku yang kadang ikut nyekar juga ikut menangis.
Setelah kebersamaan selama dua minggu ini, rasanya agak berat untuk berpisah walaupun sementara. Melihat Risa yang murung akhir-akhir ini, Bapak berjanji akan pulang paling tidak seminggu sekali. Ini paling tidak sedikit mengobati kekecewaan Risa. Dialah yang paling berat melepas kepergian Bapak ke Gunung Kidul walaupun sudah diberi pengertian bahwa Bapak kesana demi mencari uang untuk kami juga.
Mungkin karena selama dua minggu ini, Risa selalu dituruti keinginannya oleh Bapak. Dia minta jalan-jalan kemana saja pasti dituruti oleh Bapak. Bahkan Bapak ikut Risa jalan-jalan naik sepur kelinci, padahal yang naik sepur kelinci kebanyakan kalau tidak anak-anak ya ibu-ibu. Tapi demi rasa sayang Bapak ke Risa, Bapak rela naik sepur kelinci itu. Selain menunjukkan rasa sayang, aku tahu Bapak juga ingin menebus rasa bersalahnya atas ketidakhadirannya dalam kehidupan kami selama kurang lebih delapan tahun.Bapak pagi ini sedang menunggu temannya yang akan menjemputnya. Keningku mengerut melihat bawaan Bapak.
"Bawaannya hanya tas ransel ini, Pak?" tanyaku memastikan.Bapak yang sedang memakai sepatu pun membenarkan, "Iyo, Nduk. Paling cuma alat-alat tukang sama beberapa baju dan celana."
Teringat sesuatu aku kembali bertanya, "Baju yang Vita beliin kemarin dibawa nggak, Pak?"
"Yo, ndak usah, Nduk. Baju bagus gitu ditinggal di rumah saja. Bapak kan kesana mau kerja. Itu bajunya dipakai kalau njagong atau acara-acara resmi," jawab Bapak.
"Iya ya, harusnya kemarin Vita juga beliin kaos buat Bapak. Besok Vita belikan, Pak."
Seperti yang sudah kuduga Bapak pasti akan menolak
"Ndak usah, Nduk. Uangmu disimpan, atau dipakai buat keperluan yang penting saja. Baju Bapak masih banyak.""Banyak opo to, Pak. Wong selama disini, Vita yang nyuci bajunya Bapak tiap hari dan setau Vita cuma beberapa saja kok."
Bapak pun beralasan, "Baju Bapak kan sebagian masih di rumah Bulekmu. Kesini cuma bawa beberapa saja memang."
"Pokoknya Vita mau beliin baju dan celana buat Bapak lagi, sama peci ya, Pak?", janjiku.
"Terserah kamu saja, Nduk. Lha Risa mana?"
"Dia masih di kamar, sedih Bapak mau pergi kerja."
Bapak pun segera menuju kamar. Tak lama kemudian Bapak kembali dengan Risa yang sudah berseragam sekolah dalam gendongannya. Risa bergelayut manja di leher Bapak, wajahnya cemberut.
"Nduk kok diam saja?", tanya Bapak sembari membenarkan jepit rambut Risa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Impression
ChickLitSemangat seorang Vita Prameswari begitu menggebu untuk mengukir masa depan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tapi hidup ini memang penuh dengan kejutan yang terkadang tak pernah terpikirkan. Jalan kehidupan yang berliku membawanya bertemu...