Aku baru saja selesai mencuci baju saat Mbah baru pulang dari sawah. Wajahnya nampak lelah saat meletakkan sebilah bambu panjang yang biasa digunakan saat tandur di sawah agar tanaman padi yang ditanam bisa lurus dan sama jaraknya.
Aku pernah meminta Mbah untuk tidak bekerja di sawah lagi. Bukan aku malu memiliki Mbah seorang petani, sama sekali tidak, malah aku bangga. Ini semata-mata karena aku ingin Mbah menikmati masa tuanya tanpa harus menjalani pekerjaan berat lagi, apalagi aku sudah bekerja dan memiliki penghasilan perbulan yang cukup bisa diandalkan untuk menghidupi kami bertiga. Tapi Mbah menolaknya. Mbah merasa dengan bekerja di sawah membuatnya merasa lebih sehat dan bugar dibanding hanya diam di rumah. Mbah juga bisa bertemu dengan teman-temannya yang sudah puluhan tahun sering bekerja bersama-sama. Dan ini membuat beliau bahagia. Jawaban Mbah membuatku bungkam, bagaimana bisa aku meminta Mbah untuk meninggalkan sesuatu yang membawa kebahagian baginya.
Selesai shalat ashar, Mbah makan di dipan bambu. Hari ini aku memasak botok lamtoro dengan tempe dan irisan daun melinjo muda yang di daerah kami biasa disebut godhong so.
"Mbah Risa enten pundhi nggih?", tanyaku sembari duduk di samping Mbah.
"Tadi Mbah lihat ada di kamarnya, Nduk. Lagi tidur siang."
"Kok aneh biasanya pulang sekolah langsung dolan."
"Yo mungkin lagi capek saja to, Nduk makanya prei sing dolan."
"Iya mungkin."
Aku lalu beranjak dan mengangkat jemuran yang sudah kering karena tali jemurannya akan digunakan untuk menjemur pakaian yang baru saja kucuci. Kudengar ada yang memanggil-manggil Risa dari depan rumah.
"Risa...Risaaaa...ayo mangkat TPA."
Pasti itu Aulia yang datang menjemput Risa. Segera aku ke kamar untuk membangunkan Risa.
"Dek, nggak berangkat TPA? Tuh dicariin Aulia," tanyaku.
Risa menggeliat pelan dari tidurnya. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya dan meringis saat bangun dari tidurnya seperti menahan sakit.
"Nggak, Mbak. Kepala Risa pusing," jawab Risa sembari memegang kepalanya.
Aku lantas mendekati dan ikut duduk di kasurnya. Kuraba dahinya mengecek suhu tubuh Risa.
"Astagfirullah, badan kamu panas banget, Nduk. Dari kapan?," tanyaku panik lalu menyuruh Risa kembali berbaring."Tadi pas pulang sekolah, Mbak,"gumam Risa
"Bentar, Mbak beli obat dulu ya."
Aku menemui Aulia yang masih menunggu Risa di depan rumah. Aulia sudah siap berangkat TPA dengan baju muslimnya yang berwarna orange dan bermotif kartun.
"Nduk Aul, Risanya nggak berangkat TPA hari ini, sakit demam. Tolong bilangin ke guru ngajinya ya.""Iya, Mbak Vita. Mungkin karena kemarin Risa hujan-hujanan pas pulang sekolah," kata Aulia.
Keningku mengerut, "Lho, Risa nggak bawa payung? Biasanya bawa kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Impression
ChickLitSemangat seorang Vita Prameswari begitu menggebu untuk mengukir masa depan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tapi hidup ini memang penuh dengan kejutan yang terkadang tak pernah terpikirkan. Jalan kehidupan yang berliku membawanya bertemu...