Kuletakkan tasku di atas meja belajar di samping kasur tipis tempatku melepas lelah. Mau mengerjakan pesanan emping rasanya malas sekali. Aku ingin berbaring sebentar saja, sambil mengumpulkan tenaga lagi. Tubuhku rasanya lelah setelah seharian menemani Bu Widya di rumah sakit, sepulang dari rumah sakit aku masih harus memasak dan membersihkan rumah. Untung saja cucian tak begitu banyak jadi sementara kutumpuk dan akan kucuci besok saja.
Sementara pikiranku mengembara, pintu kamarku tiba-tiba menjeblak terbuka, dari luar Risa masuk dengan wajah yang ceria.
"Mbak...mbak Vita, Risa minta uang boleh?"
"Hmm, buat apa, nduk?"
"Itu lho, Mbak di lapangan desa ada pasar malam. Baru mulai buka malam ini. Risa, Aulia sama Cici mau kesana nanti, Mbak."
"Eh masa kesana sendirian?"
"Nggak sendirian, kan bertiga, Mbak. Minta uang buat beli jagung bakar ya," pinta Risa dengan wajah memelas.
"Bukan, maksud Mbak kalau ke pasar malam harus sama orang tua kan disana ramai banget, dek."
"Namanya pasar malam ya ramai Mbak. Ada ibunya Aulia kok, makanya Mbak ikut juga nganterin Risa sama teman-teman. Yaaa....yaaa, Mbak," katanya lagi sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Ya udah, tapi sebentar aja ya, dek. Kesananya habis magrib kan?"
"Yeeey, iya nanti kesananya setengah tujuh kata Aulia."
***
Dari kejauhan sudah nampak lampu-lampu sorot yang berwarna-warni, begitu kami sampai lapangan sudah penuh dengan orang yang ingin menikmati pasar malam. Maklum baru hari pertama buka, tentu sangat ramai. Tadinya aku juga mengajak Mbah ke pasar malam tapi beliau menolak. Mbah cuma minta dibelikan sate kere.
Di antara ramainya pengunjung, para pedagang pun berlomba-lomba menawarkan dagangannya. Mulai dari kacang rebus, jagung bakar, leker, gula-gula kapas yang berwarna-warni, sate kere juga ada.
Leker itu semacam crepes yang berisi taburan meises dan potongan pisang. Harganya murah meriah ada yang seribu lima ratus ada yang dua ribu rupiah, tak heran antrian pembelinya mengular.
Tak kalah dengan leker, pedagang sate kere juga banjir pembeli. Sate ayam dan sate sapi sudah umum di masyarakat, sedangkan sate kere mungkin jarang terdengar karena sekarang ini memang sudah agak sulit menemukan pedagang sate kere yang keliling, tergusur oleh makanan-makanan populer yang tampilannya lebih menarik bagi pembeli. Paling di pasar malam seperti ini kita bisa menemukan sate kere, itu pun kadang ada kadang tidak.
Sate kere sendiri merupakan salah satu kuliner khas dari Solo. Dalam bahasa Jawa, kata kere berarti miskin. Disebut sate kere karena pada zaman penjajahan dulu, rakyat tak mampu membeli daging karena harganya yang mahal. Untuk mengakalinya rakyat yang miskin mengganti daging dengan tempe gembus dan gajih-gajih(lemak) yang harganya terjangkau. Tempe gembus sendiri terbuat dari ampas tahu berbeda dengan tempe kedelai yang masih nampak biji-biji kedelainya. Sebelum dibakar, tempe gembus dan gajih tadi dimasak dengan bumbu bacem terlebih dahulu hingga bumbunya meresap dan berubah warna menjadi kecoklatan. Teksturnya yang lembut dan nikmat ketika dipadukan dengan bumbu atau saus kacang membuat sate kere ini dulu menjadi makanan yang digandrungi masyarakat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Impression
ChickLitSemangat seorang Vita Prameswari begitu menggebu untuk mengukir masa depan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tapi hidup ini memang penuh dengan kejutan yang terkadang tak pernah terpikirkan. Jalan kehidupan yang berliku membawanya bertemu...