"Vit...Vita....", panggil Mbah saat aku masuk ke dalam rumah. Bapak baru saja pulang diantarkan Kahfi.
Aku pun mendekat ke Mbah yang sedang duduk di dipan rotan yang ada di ruang TV, "Enten nopo, Mbah?"
"Sini duduk dulu," kata Mbah menepuk-nepuk tempat di sebelahnya.
Aku menurut dan duduk di sebelah Mbah. "Mbah cuma mau ngomong, Mbah nggak ngelarang kamu sama Risa ketemu sama Bapakmu, tapi jangan bawa dia ke rumah ini to, Nduk. Ngelihat mukanya, Mbah jadi teringat lagi sama kelakuannya setelah Hartanti meninggal," kata Mbah dengan pandangan menerawang ke depan. Hatiku seakan teremas melihat raut wajah Mbah yang sangat kusayang terlihat sedih.
"Vita minta maaf kalau sudah melukai hati, Mbah. Tapi tadi itu sebenarnya Bapak kesini karena dipaksa Risa suruh nganterin."
Dengan raut wajah yang dengan kentara menunjukkan ketidaksukaan, Mbah menambahkan, "Ya tapi mbok ya ndak usah nganter sampe ikut turun."
"Mbah....", panggilku pelan.
Mbah menoleh ke arahku, "Opo, Nduk?"
Aku meraih sebelah tangan Mbah dan kuletakkan di pangkuanku, "Vita selalu berdo'a semoga Mbah bisa memaafkan Bapak. Bukan ngelupain kesalahan Bapak tapi memaafkan demi ketenangan Mbah sendiri. Karena kalau dalam hati masih ada dendam dan kebencian, hidup jadi nggak tenang."
"Soal itu ndak tau, Nduk. Mungkin nanti tapi ndak tau kapan."
Kuelus-elus tangan Mbah yang sudah keriput dimakan usia. Selain menyalurkan rasa sayangku, kuharap Mbah bisa luluh dan bersedia memaafkan Bapak.
"Iya, pelan-pelan, Mbah. Bapak insyaAllah sudah berubah jadi lebih baik, dan juga menyesali semua kesalahannya. Kalau suatu saat nanti.......Vita menikah, Vita ingiiiin sekali Bapak dan Mbah sama-sama ikut bahagia bersama Vita. Bukan Vita mau menggurui, sok tau apa gimana, tapi semua manusia pasti nggak luput dari kesalahan kan, Mbah?"
"Iya, Nduk."
"Banyak juga manusia yang terus melakukan kesalahan, tapi tidak menunjukkan rasa bersalah apalagi penyesalan. Nah kalau ada seseorang yang dulunya pernah berbuat salah tapi sekarang sudah minta maaf, menyesal dan ingin memperbaiki diri, apa salahnya kalau kita kasih kesempatan kedua, Mbah. Umur manusia kan nggak ada yang tau."
"Tapi hati Mbah masih kelara-lara, Nduk kalau ingat dulu kalian diterlantarkan begitu saja."
"Tadi kami sebelum pulang menyempatkan ziarah ke makam ibu, dan Bapak menangis minta maaf sama ibu di sana, Mbah. Vita jadi sadar, sebesar apapun kesalahan Bapak sebelumnya beliau tetap orang tua Vita dan Vita memutuskan untuk melupakan semua kesalahan Bapak terutama demi Risa karena dia masih butuh kasih sayang Bapak. Vita mohon jangan suruh Vita dan Risa memilih antara Mbah dan Bapak karena kalian adalah dua orang yang sangat kami sayang," pintaku.
Mbah terdiam seperti terlarut dalam pikirannya. Aku memutuskan membiarkan Mbah merenung. Aku tahu aku tak bisa memaksakan kehendakku. Mbah butuh waktu dan aku akan terus berusaha agar hubungan Mbah dan Bapak bisa kembali baik.
Aku mengusap punggung Mbah lalu beranjak dari dudukku," Vita mau shalat dulu nggih, Mbah."
"Yo wis, Nduk."
***
Pagi ini seperti biasa sebelum adzan Shubuh aku sudah terbangun dan mulai beraktifitas. Setelah menjerang air dalam ketel, aku memasak nasi dan oseng-oseng kulit melinjo untuk sarapan. Kulit melinjo yang merah ditumis dengan bumbu sederhana, hanya bawang putih yang dihaluskan, gula dan garam. Itu sudah menghasilkan masakan yang menurut lidah kami sangat enak. Dengan warnanya yang merah cerah benar-benar menggugah selera makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Impression
ChickLitSemangat seorang Vita Prameswari begitu menggebu untuk mengukir masa depan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tapi hidup ini memang penuh dengan kejutan yang terkadang tak pernah terpikirkan. Jalan kehidupan yang berliku membawanya bertemu...