WI 36

14.6K 917 61
                                    

Selesai mematut diri di depan cermin dan merasa cukup puas dengan penampilanku, aku pun mencari Mbah untuk berpamitan. Mbah hari ini tidak ke sawah karena menyelesaikan pesanan emping dari Bu Sudarman, tetangga kami. Bu Sudarman memesan lima kilogram emping untuk oleh-oleh saudaranya yang akan kembali ke Jakarta. Karena lumayan banyak, sudah tiga hari kami menyicil untuk mengerjakannya, sekarang paling tinggal beberapa ons melinjo lagi yang tersisa.

"Mau kemana, Nduk kok dandan ayu?", tanya Mbah yang melihatku memasuki dapur.

"Vita diundang ke pengajian empat bulanan kehamilan Kak Rania, Mbah."

"Woo, Bu Dokter sudah hamil empat bulan yo."

"Iya, nggak kerasa ya, Mbah. Ini nanti cucu pertama di keluarganya Bu Widya lho," tambahku lagi.

"Acarane geden to, Nduk?"

"Mboten kok, Mbah paling cuma ngundang keluarga yang dekat-dekat terus sama ibu-ibu pengajian. Vita berangkat sekarang ya, Mbah," pamitku seraya menyalimi tangan Mbah.

"Yo, ndang mangkat. Sudah ditunggu Pak Dokter dari tadi."

Mbah lalu mematikan api di tungku dan mengikutiku hingga ke depan rumah. Kahfi yang melihatku dan Mbah segera berdiri dan dengan tersenyum melontarkan candaan.

"Mbah, Vita saya pinjam dulu, nggih?"

Aku mendengus mendengarnya, "Ih, emang aku barang apa dipinjam-pinjam."

"Ra popo, Le. Sing penting kembalinya selamat," jawab Mbah sembari tersenyum pada Kahfi.

Kahfi lalu menyalimi tangan Mbah sekaligus berpamitan,"Nggih, kami berangkat dulu, Mbah."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

***

Aku masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman. Kahfi yang juga baru masuk tak segera menyalakan mesin mobil, malah memandangiku lekat.
"Cantik banget sih, kesayanganku. Ijo-ijo, kayak daun."

Entah mengapa aku belum juga kebal dengan gombalan receh Kahfi, karena aku masih saja merona dan tersipu dengan pujian darinya. Tapi mendengar kalimatnya yang terakhir, aku tak terima.

"Ck, katamu seragamnya hijau, makanya aku pakai gamis ini."

Kahfi membenarkan, "Iya, emang seragamnya ijo."

"Habisnya kamu mujinya kayak nggak ikhlas gitu, mana disamain sama daun lagi. Emang penampilanku aneh ya?"

"Hahaha, nggak kok, nggak aneh. Aku benar-benar tulus mujinya, dari hati yang paling dalam. Kita berangkat sekarang aja ya?", tanyanya yang kujawab dengan anggukan.

***

Acara pengajian empat bulanan Kak Rania diadakan sore ini selepas ashar. Saat aku tiba suasana sudah ramai di rumah Kak Rania. Di depan rumah nampak beberapa anak yang sedang bermain petak umpet.

Aku dan Kahfi lalu masuk ke dalam bersama. Ternyata keluarga besar Kahfi sudah berkumpul. Aku langsung menyalami Kak Rania dan Mas Wira yang tengah bersiap. Kak Rania mengundang ibu-ibu pengajian di komplek tempatnya tinggal. Tak lupa keluarga besar mereka baik dari pihak keluarga Kak Rania dan Mas Wira.

Dari pihak Mas Wira hanya diwakili oleh orang tuanya karena keluarga yang lain banyak yang bermukim di Kalimantan jadi tak sempat hadir. Aku juga sempat dikenalkan oleh Kahfi pada orang tua Mas Wira. Lalu lanjut mencari Bu Widya yang ternyata tengah asyik mengobrol di ruang tengah dengan ibu-ibu yang ada di sekitar beliau yang baru kuketahui ternyata masih keluarga beliau dan Pak Hari juga.

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang