Jam masih menunjukkan pukul enam pagi di hari Minggu ini. Risa sedang menonton kartun kesayangannya di TV. Aku di dapur sedang menggoreng telur untuk sarapan kami. Suara langkah kaki Mbah yang tergopoh-gopoh menghampiriku di dapur membuatku menoleh.
"Nduk, ada yang nyari kamu di depan."
"Siapa, Mbah?"
"Itu, Bu Dokter yang di rumah sakit itu lho, Nduk."
"Kak Rania, Mbah?"
"Iya yang ngasih hadiah banyak banget ke Risa itu."
Aku bergegas menuju ke ruang tamu. Kak Rania tersenyum saat melihatku.
"Vit, sorry Kakak pagi-pagi kesini."
"Ah nggak papa, ada apa ya Kak?"
"Ini nganterin gaji kamu yang seminggu kemarin. Takut lupa ngasihnya."
"Emm, Kak aku masih boleh lanjut ngerawat Bu Widya nggak?"
"Loh, kamu nggak jadi berhenti? Ya boleh doong, rumah kami selalu terbuka buat kamu. Tapi tawaran kerja yang lain itu gimana?"
"Itu...Vita nggak jadi wawancaranya, Kak. Yang dibutuhin ternyata bidan bukan perawat."
Aku terpaksa berbohong, aku tak mungkin mengatakan kalau aku kembali bekerja karena ancaman Kahfi.
"Oalah, ya udah kamu lanjut kerja di rumah aja. Tapi ini gajinya kamu terima ya, buat kebutuhan harian keluarga kamu. Kalau butuh sesuatu jangan sungkan ngomong sama Kakak ya, Vit.
"Makasih, Kak."
"Kamu tuh udah kayak adikku sendiri, Vit. Mama juga sayang banget sama kamu. Kalau bisa kamu ngerawat sampai Mama sembuh ya, baru nyari kerjaan lain. Untungnya aku belum bilang ke Mama soal yang kemarin itu. Mama pasti yang paling merasa kehilangan kalau kamu beneran berhenti."
"Iya, maafin Vita ya, Kak."
"Iya, Kakak paham kok posisi kamu. Ya udah berarti besok kamu ke rumah kan."
"Iya, Kak."
***
Karena hari ini aku libur, aku mengajak Risa pergi berbelanja di pasar. Apalagi aku baru mendapat sedikit uang dari Kak Rania pagi tadi, aku berniat membeli kebutuhan pokok yang memang sudah hampir habis. Letak pasar tak begitu jauh dari rumah. Perjalanannya sekitar setengah jam dengan sekali naik bis atau angkot, tergantung mana yang lebih dahulu lewat.
Sebenarnya aku ingin berangkat sendirian, tapi Risa merengek minta ikut ke pasar juga. Setelah memastikan kalau lukanya yang didapat dari kecelakaan kemarin sudah tidak sakit lagi, dia kuizinkan ikut ke pasar. Tapi aku tetap mewanti-wantinya karena aku masih agak khawatir kalau lukanya belum sembuh benar.
"Risa nanti kalau luka di tangan atau kakinya sakit, bilang ke Mbak ya. Soalnya di jalan dan di pasar hari Minggu gini ramai banget."
"Iya, Mbak. Risa udah sehat kok, udah nggak sakit lagi. Luka-lukanya kemarin juga udah kering. Nih lihat kalau Mbak nggak percaya."
"Iya, tapi kalau pas di jalan nanti ada yang kerasa sakit langsung bilang, jangan ditahan, oke?"
"Oke, Mbak ayo berangkat sekarang. Nanti keburu siang, panas di jalan."
"Nah kalau panas kamu di rumah aja, Mbak nggak lama kok. Cuma beli di pasar terus pulang."
"Risa pengen ikuuut, Mbak."
"Yo wis jangan nangis, ayo berangkat. Pamit sama Mbah dulu, dek."
***
"Tuh ramai banget ya orang-orang pada belanja. Hari libur sih,"kataku pada Risa saat kami keluar dari pasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Impression
Chick-LitSemangat seorang Vita Prameswari begitu menggebu untuk mengukir masa depan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tapi hidup ini memang penuh dengan kejutan yang terkadang tak pernah terpikirkan. Jalan kehidupan yang berliku membawanya bertemu...