WI 9

10.7K 1K 17
                                    

Siang hari ini sangat panas, tapi aku terus tersenyum. Karena hari ini terakhir aku akan bekerja disini. Memang aku belum mendapatkan pekerjaan lain tapi aku terus mengirimkan surat lamaran berdasarkan info lowongan kerja yang kudapat. Dan alhamdulillah aku mendapatkan dua panggilan untuk interview tiga hari lagi. Yang satu dari rumah sakit swasta sedangkan satunya klinik bersalin. Semoga saja aku bisa diterima di salah satunya.

Selepas makan siang, aku dan Bu Widya sedang duduk di teras rumah menikmati semilir angin yang berhembus perlahan.

"Bu, mangganya udah besar-besar buahnya. Tapi kayaknya beda jenisnya ya, Bu. Yang satu sih setahu Vita mangga apel kan dekat pagar itu. Kalau yang satu mangga apa, Bu?", tanyaku sambil menunjuk pohon mangga yang lainnya.

"Ma..du,"jawab Bu Widya.

"Waah, enak itu mangganya, Bu. Biar masih mengkal juga nggak asem. Vita boleh minta mangganya, Bu?", pintaku antusias.

"Bo...leh yang ba...nyak."

"Nggak papa, Bu? Hehe jadi nggak enak. Kalau yang mateng buat ibu aja ya," saranku.

"Bi..sa manjat?", tanya Bu Widya karena memang tidak ada galah yang bisa digunakan untuk memetik mangga dari bawah, tangga juga tidak ada.

"Woo jangan ditanya, Vita kalau soal memanjat pohon jago banget," jawabku sambil menepuk dada bangga akan kemampuanku yang satu itu membuat Bu Widya tertawa mendengarnya.

***

Sebenarnya pohon mangga apelnya tidak tinggi, tapi rasa mangga itu tidak bisa ditebak dari besar maupun warnanya. Seringkali mangganya tetap asam walaupun sudah matang.

Jadi aku memanjat pohon mangga madu yang lumayan tinggi, sambil berpegangan pada ranting ataupun dahan yang bisa kucapai. Dahannya lebar sehingga memudahkanku untuk meraih segerombol mangga yang terletak jauh sekalipun. Begitu sudah berhasil dipetik, segera kumasukkan mangga-mangga itu ke dalam plastik keresek yang kubawa.

Tapi sialnya bukan aku sendiri saja yang ingin menikmati manisnya mangga madu ini. Rombongan semut rangrang juga ikut berbaris di sepanjang batang pohon. Aku tidak menyadari ada sarang semut rangrang di pohon itu. Saat aku meraih mangga yang agak tertutup dedaunan, tanganku seketika diserbu oleh banyak sekali semut. Ternyata di daun yang kupegang tadi ada sarang semut yang dipenuhi semut dan telur semut yang biasa disebut kroto.. Segera saja semut-semut itu menggigit bagian tubuhku yang tidak terlindung pakaian membuatku mengaduh kesakitan.

"Aaaargh. Aduh.....aduh....semutnya banyak banget, gimana nih."

"Vi...ta," panggil Bu Widya terdengar khawatir.

"Buu, ibu tenang aja duh, ini Vita udah mau turun, aduh sakit."

Tanpa pikir panjang kubuang kantong berisi mangga itu kebawah dan aku segera turun dari pohon. Plastik yang terjatuh membuat mangga-mangga berserakan di bawah pohon.

"Aduh semutnya banyak banget, Bu."

Setelah mengebas-ngebaskan bajuku, aku segera berlari ke dalam rumah dan masuk ke kamar mandi. Setengah jam kemudian, setelah merasa tak ada semut yang berkeliaran di bajuku baru aku keluar dari kamar mandi. Aku berkaca di cermin dekat kamar mandi dan baru terlihat beberapa bercak merah hasil gigitan semut-semut di wajah, leher dan tanganku.Gara-gara mangga saja aku mesti menderita kesakitan digigit semut seperti ini. Benar-benar sial aku hari ini.

Aku lalu teringat sepertinya aku pernah melihat ada balsem dan minyak gosok di kamar Bu Widya. Setelah mendapatkan balsem di kamar, aku keluar lagi menemui Bu Widya.

"Nggak pa..pa?" tanya Bu Widya dengan raut wajah yang cemas.

"Nggak papa, Bu. Cuma bentol-bentol nih tadi digigit semut. Vita nggak tahu kalau di pohon itu ada sarang semut rangrang. Tadi mangganya baru dapat delapan buah terus Vita kegigit semut. Bentar Vita ambil mangganya dulu, Bu. Moga-moga udah nggak ada semutnya."

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang