WI 33

9.2K 896 48
                                    

Setelah telfon dari Bapak berakhir, aku menepuk keningku. Aku baru ingat besok aku masuk pagi. Segera kuhubungi Lina, berharap aku bisa bertukar shift dengannya. Tak lama setelah terdengar nada sambung, suara salam dari Lina menyapa telingaku.

"Wa'alaikumsalam, Lin Kamu besok masuk apa?

"Masuk siang, Vit. Kenapa emangnya?"

"Oh, kirain masuk malam. Aku mau tukeran shift. Hilda masuk pagi jadi nggak bisa tukeran sama dia."

"Aku masuk siang sih, tapi kayaknya Ayla masuk malam deh."

"Tapi aku nggak punya nomernya Ayla, Lin."

"Aku kirimin nomernya ke kamu. Ada apa, Vit kok tiba-tiba pengen tukeran shift?"

Sialnya aku lupa kalau Lina adalah ratu kepo. Sedangkan aku belum menyiapkan alasan yang meyakinkan, jadi begitu ditanya Lina pikiranku mendadak blank. Aku berusaha berpikir cepat tapi yang ada aku malah seperti mengada-ada.
"Hah? Oh itu.....ada...... Ada apa ya? Oh ada acara keluarga...iya ada acara keluarga."

"Hmm... mencurigakan nih. Kamu lagi dimana ini?"

"Di rumah sakit," ceplosku dan aku langsung menutup mulutku karena tanpa sadar aku telah membuka kebohonganku sendiri.

"Lho kan kamu bukan shift malam hari ini. Ketahuan deh. Emang kamu tuh nggak bisa bohong sama aku, Vit."

Aku hanya bisa mendengus karena apa yang dikatakan Lina memang tidak salah, jadi kuputuskan untuk jujur saja.
"Oke-oke, aku lagi di rumah sakit di Jogja. Kahfi kecelakaan makanya besok aku nggak bisa masuk pagi, Lin."

"Nah kalau jujur gitu kan aku jadinya bisa bantu kamu. Kamu tenang aja, aku yang hubungin Ayla minta dia tukeran shift sama kamu. Tapi...."

"Tapi apa?", tanyaku mulai curiga akan adanya udang di balik batu.

"Tapi nggak ada yang gratis dooong. Kamu mesti cerita semuanya ke aku, eksklusif. Gimana?"

Aku hanya bisa pasrah menerima tawaran Lina.
"Hmm, ya oke deh. Makasih lho udah bantu, Lin walau dengan bayaran, huh," sindirku yang disambut gelak tawa Lina.

"Hahahaha, sama-sama, Vit. Semoga Kahfi cepat sembuh. Ya pastinya sih apalagi ditungguin sama kamu, udah nggak perlu obat lagi dia."

"Amiin, kamu tuh ada-adaaa aja."

"Ingat lho...Eksklusif," peringatan dari Lina malah membuatku tertawa kecil.

"Iya-iya, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

***

Memandang layar telfon yang kembali menggelap setelah menelfon Lina, aku masih enggan masuk ke dalam dan malah duduk-duduk di depan kamar tempat Kahfi dirawat. Angin malam yang berhembus membawa pikiranku melayang.

Aku merasa perlu menelaah kembali perasaanku kepada Kahfi. Dalam lubuk hatiku, sebenarnya aku sadar bahwa rasa sayangku padanya sudah tumbuh dan semakin berkembang. Hanya saja entah mengapa aku enggan untuk mengumbarnya. Menurutku cukup aku saja yang tahu tentang perasaanku.

Tapi kejadian hari ini menyadarkanku bahwa aku takut kehilangan Kahfi. Melihatnya terbaring tak sadarkan diri membuatku bertanya pada diri, bagaimana bila aku tak punya waktu untuk mengungkapkan rasa sayang kepadanya.

Dia sudah berubah banyak demi mendekatkan dirinya denganku. Dia sudah berusaha meminta maaf, memperbaiki kesalahannya dan dengan berani menyatakan niat baiknya kepada Bapak. Dialah yang berusaha selama ini untuk membangun hubungan denganku.

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang