WI 23

10.6K 844 18
                                    

Siang ini hujan kembali mengguyur. Tadi begitu aku keluar dari rumah sakit disambut hujan gerimis. Orang-orang di jalanan nampak berlarian mencari tempat berteduh. Beruntung aku sudah berada dalam angkot saat hujan semakin deras. Dalam angkot ini hanya ada tiga orang termasuk aku. Tiba-tiba kurasakan ada getaran dari dalam tas. Segera kukeluarkan hapeku, ternyata Bulek Sri yang menelfon. Suaranya yang lembut langsung menyapa telingaku begitu kutekan tombol penerima telfon.

"Halo, Assalamu'alaikum, Nduk, Bapak kamu seminggu lagi pulang ke Indonesia. Kamu sama adikmu mau ikut jemput ndak? Nanti bareng Bulek aja."

"Hari apa itu ya, Bulek?", tanyaku memastikan.

"Hmm, kalau ndak salah Selasa, Nduk."

Kuingat-ingat lagi jadwalku dan dengan nada penuh penyesalan aku menjawab,
"Waduh, sebenarnya Vita pengen ikut jemput, Bulek. Tapi Vita kerja."

"Apa ndak bisa izin to, Nduk?," bujuk Bulek Sri.

"Nggak enak, Bulek soalnya Vita masih terhitung baru kerja disini. Coba pas libur, Vita pasti ikut jemput Bapak."

Bulek Sri sepertinya sangat mengharapkan aku untuk ikut.

"Woo, ya sudah. Tapi nanti main ke rumah lho ya, Nduk. Bapakmu pasti kangen sama kamu dan adikmu."

"Nggih, Bulek. InsyaAllah hari Kamisnya Vita libur, nanti Vita sama Risa main ke rumah Bulek."

"Yo wis kalau gitu."

"Nggih, Bulek, maturnuwun Vita udah dikabari."

"Iya, Nduk. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullah, Bulek."

Lama setelah sambungan telefon terputus, aku masih terpaku menatap layar hape yang sudah menggelap. Bapak pulang, kata itu yang masih terngiang-ngiang terus di telingaku. Ada rasa senang bercampur rindu yang tiba-tiba menyeruak dalam hatiku. Senang rasanya mengetahui bahwa aku dan Risa masih memiliki orang tua walaupun tak lengkap.

***

Sesampainya di rumah aku segera berganti pakaian dan mengerjakan sisa melinjo jatah minggu ini. Kunyalakan tungku untuk memanaskan wajan tanah liat yang berisi pasir. Tak lupa peralatan yang lain sudah kusiapkan disampingku. Aku sedang mengaduk-aduk pasir dalam wajan saat Mbah muncul di pintu dapur. Sepertinya beliau hendak pergi karena Mbah sudah memakai kebaya, kain jarik dan kerudung. Pertanyaanku terjawab sejurus kemudian saat Mbah berpamitan.

"Nduk, Mbah mau tilik Bu Sukiman ke rumah sakit ya."

"Bu Sukiman sakit apa, Mbah?"

"Ndak tau, Nduk. Cuma katanya habis operasi kemarin," kata Mbah sembari membenarkan kerudung coklatnya.

"Berangkat sekarang, Mbah?"

"Iya, lha tadi diajak bareng ibu-ibu naik montor gundul janjinya jam 4 sore. Kamu ada uang lima ribu ndak, Nduk? Buat bayar ongkos montor nanti."

"Ada kok, Mbah. Bentar Vita ambil dulu."

Setelah utangku pada Kahfi lunas, akhirnya bulan ini aku sudah bisa menikmati sedikit gajiku dengan membeli tas juga payung baru. Untuk Mbah aku membelikan radio dan kain jarik batik, sedangkan untuk Risa kubelikan baju dan peralatan sekolah. Ada kepuasan tersendiri melihat raut wajah bahagia Mbah dan Risa ketika menerima pemberian dariku yang tak seberapa.

"Ini uangnya Mbah."

"Lho kok sepuluh ribu?"

"Udah Mbah bawa aja, siapa tau kurang nanti."

"Yo wis Mbah berangkat dulu ya, nanti sambal tumpangnya jangan lupa dipanasin takutnya basi. Kamu kalau capek ndak usah tuthuk dulu, wong baru pulang kerja. Leren sik."

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang