WI 17

9.6K 870 8
                                    

Sudah tiga hari berlalu tapi aku masih belum beranjak dari kesedihan, rasanya malas untuk beraktifitas, malas berbicara dan ingin sembunyi dalam kamar saja. Seolah dinding-dinding kamar ini bisa melindungiku dari kejamnya dunia luar. Kata-kata Kahfi kemarin begitu melukaiku dan yang paling menyebalkan masih terus terngiang-ngiang seolah kejadian kemarin baru saja terjadi.

Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, waktu berjalan tak terasa. Tadi setelah memasak, sarapan, lalu beres-beres aku kembali masuk ke kamar. Suasana rumah sepi karena Risa main ke rumah temannya sedangkan Mbah tadi pagi berangkat ke sawah, diajak matun katanya dan mungkin baru pulang siang nanti saat waktu dzuhur tiba.

Aku tidak menceritakan keseluruhan kejadian kemarin, hanya sebatas bagian aku sudah tidak bekerja merawat Bu Widya lagi. Dan bahwasanya kesedihanku ini karena aku merasa sedih dan kehilangan keluarga Bu Widya yang sudah begitu dekat denganku. Beliau memaklumi tapi dari sorot matanya aku merasa Mbah sebenarnya tahu ada alasan lain dibalik kesedihanku beberapa hari ini. Dan aku berterimakasih karena Mbah dan Risa tidak bertanya-tanya lebih jauh.

Daripada bosan di kamar terus, aku bermaksud menonton TV. Rencananya senin besok, aku akan mencari pekerjaan yang baru. Entahlah aku mau mulai mencari lowongan dari mana, yang penting aku berusaha dulu mencari pekerjaan yang sekiranya sesuai dengan latar belakang pendidikanku. Kalau tak ketemu juga, baru aku akan mencari pekerjaan lain, mungkin menjadi pelayan di restoran atau kasir minimarket. Apa saja asal aku bisa kembali bekerja secepatnya.

TV di rumahku ini sudah berusia sekitar sepuluh tahunan, dulu almarhum ibu yang membelikannya untuk Mbah, buat hiburan katanya. Tapi Mbah paling hanya sesekali menonton TV, beliau lebih sering mendengarkan radio bututnya. Alasannya radio ini acaranya lebih menarik dan bisa dibawa kemana-mana. Saat malam biasanya Mbah mencari radio yang menyiarkan acara wayang kulit semalaman. Bagi Mbah mendengarkan cerita wayang seolah menjadi pelepas penat dan lelah karena bekerja seharian. Selain itu sebagai pengantar tidur karena pasti belum ada satu jam mendengarkan wayang, Mbah sudah pulas tertidur.

Karena umur TV ini sudah lumayan tua, jadi ketika menyalakannya terkadang harus menunggu agak lama baru layarnya akan menampilkan gambar siaran. Kalau setelah menunggu belum bisa nyala juga berarti harus memakai cara lain. Ya harus dipukul dulu sebagai bentuk pemaksaan. Memang sudah seharusnya TV ini pensiun tapi karena belum ada penggantinya ya kami masih harus menggunakannya.

Pandangan mataku memang tertuju ke layar TV tapi alih-alih menonton, pikiranku malah memutar kejadian kemarin. Aku masih terlarut dalam lamunanku saat dering telfon membuyarkannya. Bergegas aku ke kamar mengambil handphoneku yang tergeletak di atas meja belajar. Ada nomer baru yang tidak dikenal. Aku ragu-ragu mau mengangkatnya mengingat sekarang ini banyak sekali modus penipuan, tapi tak urung kuangkat juga.

"Halo, Assalamu'alaikum, ini Vita ya?", suara riang langsung menyapa telingaku.

"Wa'alaikumsalam, iya benar saya sendiri. Ini siapa ya?"

"Ini Lina, Vit, teman kuliah kamu masa udah lupa sih? Kan seangkatan kita, cuma aku yang namanya Lina."

Keningku mengerut mencoba mengingat dan akhirnya aku mengingat siapa pemilik suara ini.
"Lina....Lina Kusumastuti?"

"Yap seratus buat Mbak Vita yang cantik, hihi. Kemarin aku baru dapat nomer kamu dari Meita. Hapeku yang dulu rusak jadi nomer teman-teman pada hilang semua."

"Oalah, pantesan pernah aku nyoba nelfon eh nomer kamu nggak aktif, Lin. Kamu ada perlu sama aku?"

"Ah, nggak pa-pa pengen say hi aja kan udah lama kita nggak ketemu. Kamu apa kabar, Vit?"

"Oh, aku Alhamdulillah baik. Kamu sendiri gimana?"

"Alhamdulillah kabarku juga baik, Vit. Masih gini-gini aja, masih jomblo juga, duh jadi curcol deh."

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang