WI 31

10.2K 759 15
                                    

Lorong rumah sakit ini terasa lengang saat malam hari, tidak seperti siang hari yang penuh dengan orang berlalu lalang. Saat hampir tiba di nurse station, aku merasakan getaran di saku seragamku. Aku merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan hape yang mulai berdering. Sudah dua hari ini aku enggan mengangkat panggilan dari Kahfi. Dua hari kupikir cukup bagi kami untuk introspeksi dan memahami lagi keinginan dari hati kami. Aku berbalik arah, alih-alih menuju nurse station, aku melangkahkan kaki ke arah taman. Duduk di kursi panjang di taman, aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali sebelum menerima panggilan ini.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Vit...Vita?", suara Kahfi seperti tak yakin aku yang menerima telfon.

"Hmm...."

"Alhamdulillah kamu mau ngangkat telfonnya. Susah banget buat hubungin kamu. Kamu marah banget sama aku? Udah dua hari lho ini."

Aku memutar bola mataku mendengar keluhannya, lalu mencoba menjawab dengan tenang,"Ya kamu marah nggak kalau dituduh sembarangan sama orang padahal kamu nggak ngelakuin apa yang dituduhkan?"

Ada nada penyesalan dalam suara Kahfi, "Iya, aku minta maaf. Mungkin aku kecapekan aja kemarin jadi susah ngontrol emosi."

"Bukan hanya kamu yang capek. Aku juga capek. Lagian kamu nggak berhak nuduh aku kayak gitu, Fi."

"Kenapa aku nggak berhak?"

"Kenapa kamu merasa berhak? Apa karena kamu udah ngasih cincin? Kita belum ada hubungan apa-apa. Kamu juga udah pernah bilang kalau kamu nggak akan maksa aku untuk nerima. Tapi apa? Kamu udah bilang ke bapakku kalau kamu calon suamiku. Aku jadi terbebani kalau kayak gini, Fi."

"Oh..."

Perasaanku mulai tak enak saat mendengar Kahfi kembali berkata, "Maaf karena aku udah salah paham atas hubungan kita selama ini. Kalau kamu merasa terbebani, maaf aku nggak tau."

Aku ingin menjawab, tapi lidahku seolah kelu.

"Aku nggak akan ganggu kamu lagi, Vit. Maaf buat kelancanganku. Aku selalu mendo'akan yang baik untukmu. Assalamu'alaikum."

"Hallo....hallo...Fi..."

Tuut...tuuut...tuut

Akh, dia salah paham lagi....

Panggilannya sudah terputus dan saat aku mencoba menghubunginya lagi, yang terdengar hanya suara operator yang mengatakan handphone Kahfi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Ada nyeri di hatiku karena aku mungkin sudah menyakiti hati Kahfi kali ini. Aku menangkupkan kedua tangan ke wajahku. Menyesal memang selalu datang belakangan.

***

Perkataan Kahfi terngiang-ngiang terus sejak semalam. Membuat mataku terus terjaga tapi pikiranku seolah melayang entah kemana. Lina mengajakku dan Farida membeli minuman panas di kantin rumah sakit sebelum kami pulang. Ya, waktu shift kami memang hampir habis.

"Mukamu kok lesu gitu, Vit?, tegur Lina.

"Hufft, badanku lagi nggak enak banget dari kemarin, kayak digebukin rasanya, capek banget," keluhku.

"Lagi masuk angin kali, Vit?"

"Iya kemungkinan sih."

Lina kembali usil, "Atau....jangan-jangan..."

" Jangan-jangan apa?", tanyaku malas.

"Meriang alias merindukan kasih sayang...."

"Ish.Liiin, please deh jangan mulai...."

"Kayaknya tebakanmu jitu tuh, Lin," timpal Farida.

"Jangan ikut lebaynya Lina please, Far," pintaku tapi Farida hanya mengulum senyum.

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang