WI 12

11.1K 915 25
                                    

Hari kamis bagi sebagian orang di daerah kami masih digunakan untuk "nyekar" ke makam, begitupun dengan keluarga kami. Sepulang kerja, aku, Mbah dan Risa nyekar ke makam Mbah Kakung dan ibu. Mbah sudah membeli empat bungkus kembang untuk nyekar. Kembang untuk nyekar ini biasanya dibungkus daun pisang yang berisi bunga mawar, melati dan kenanga.

Langkah-langkah kaki kami bertiga berjalan perlahan menyusuri jalan setapak yang diapit sawah di kiri dan kanan. Sejauh mata memandang, warna hijau dan kuning mendominasi, menyejukkan mata. Diiringi semilir angin yang berhembus perlahan, kami melanjutkan perjalanan kami,  menuju sebuah komplek pemakaman yang terletak di ujung timur desa kami.

Begitu sampai di area pemakaman, kami disambut beberapa pohon kamboja yang berdiri kokoh. Di bawah pohon nampak  beberapa orang yang sedang memunguti bunga kamboja yang terjatuh. Bunga kamboja yang wanginya semerbak dibalik "keangkeran" karena sering dijumpai di pemakaman, ternyata dapat menjadi sumber rejeki bagi orang-orang yang mengumpulkan bunganya. Bunga yang dikumpulkan harus dijemur dulu hingga kering baru kemudian bisa dijual ke pengepul yang akan dimanfaatkan untuk kosmetik dan obat-obatan. Pemanfaatan untuk kosmetik misalnya sebagai aromaterapi dan parfum, sedangkan pemanfaatannya obat-obatannya lebih luas, antara lain sebagai antibiotik, penurun demam, mengatasi sembelit, dan meningkatkan nafsu makan.

Mbah masuk ke dalam terlebih dahulu diikuti aku dan Risa. Kami menyusuri makam-makam yang ada, menuju ke makam Mbah Kakung  yang terletak dekat pagar batas makam di sisi selatan. Mbah Kakung meninggal kurang lebih sepuluh tahun yang lalu karena serangan jantung. Mbah Ati dan Mbah Kakung hanya memiliki seorang anak perempuan yaitu Hartanti, ibu kami. Tak heran Mbah Ati begitu bersedih setelah ditinggalkan dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya, suaminya dan anaknya. Mbah Ati pernah berkata beruntung Mbah masih memiliki aku dan Risa. Kami baginya adalah pelipur lara dan semangat hidupnya.

Setelah mengunjungi dan membersihkan makam Mbah Kakung, kami beralih ke makam Ibu yang terletak di samping makam Mbah Kakung.
Rasa haru langsung menyeruak hanya dengan melihat batu nisan yang terukir nama ibu.

Ibu, Vita kangen....
Maafin Vita belum bisa jadi anak yang baik selama ibu hidup....

Kami duduk di samping makam, mulai membersihkan rerumputan yang baru tumbuh, meski tidak begitu banyak karena seminggu sekali kami kesini. Setelahnya kami menaburkan bunga dan membacakan do'a untuk ibu. Kami berharap do'a ini bisa sampai ke ibu walaupun sudah berbeda dunia.

Aku kadang bertanya dalam hati, apakah Bapak pernah mengunjungi makam ibu tanpa sepengetahuan kami. Tapi rasa-rasanya tak mungkin. Kalaupun Bapak mengunjungi makam ibu, pasti ada saja tetangga kami yang bercerita kepada kami.

"Mbak, kapan ya kita ketemu ibu?", tanya Risa tiba-tiba.

"Nanti, nduk. Risa jangan mikir itu dulu sekarang. Sekolah yang pinter biar ibu yang ngelihat dari atas sana merasa bangga sama Risa," jawabku dengan suara yang tercekat oleh campuran rasa sedih dan haru.

Mbah Ati lebih banyak terdiam ketika berada di pemakaman. Aku memahami, sulit baginya yang pastinya terkenang akan suami dan anaknya. Walaupun sudah ikhlas tapi kenangan akan orang yang berarti tentunya tetap hidup dalam hati kita.

***

Sepulang dari makam, dalam perjalanan pulang ke rumah, Mbah dipanggil Bu Kasiah. Beliau yang kemarin memesan emping untuk acara yasinan di rumahnya.

"Ada apa ya, Bu?"

"Ini Mbah. Kemarin di rumah saya ada yasinan, nasinya turah banyak. Ini buat Mbah Ati, ada sambal goreng dan lauknya juga."

"Waduh, maturnuwun nggih, Bu."

"Nggih sami-sami, Mbah. Daripada ndak ada yang makan. Ini baru pulang nyekar to, Mbah?"

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang