WI 5

11.4K 1K 8
                                    

Hari keempat kuawali dengan kegiatan yang berbeda dengan tiga hari sebelumnya. Pagi ini aku dan Bu Widya diantarkan Kak Rania ke rumah sakit untuk sesi fisioterapi. Tadi kami berangkat dari rumah jam delapan.
Saat kami sudah menempuh setengah perjalanan, Kak Rania tiba-tiba saja bertanya padaku.
"Vit, tumben kamu diam aja. Lagi ada masalah?".

"Ng, nggak ada masalah apa-apa Kak,"elakku.

"Ah masa sih, kok kamu murung gitu? Ma, kemarin di rumah ada masalah nggak?", Kak Rania masih belum percaya juga sampai harus bertanya ke Bu Widya.

"Kah..fi.."

"Tuh, Kahfi ngapain kamu Vit? Dia marah-marah lagi ke kamu?", cecar Kak Rania.

Aku juga kaget mendengar jawaban Bu Widya tadi, membuatku bertanya dalam hati, apa kemarin beliau mendengar pas Kahfi marah-marah ya. Sejujurnya dalam hati, aku juga masih agak kepikiran masalah kemarin. Niatku sebenarnya baik hanya mungkin aku terlalu antusias jadi mengesampingkan sisi logisku.

Aku memutar otak mencoba meyakinkan Kak Rania.
"Duh, beneran nggak ada masalah Kak. Mungkin Ibu cuma mau ngasih tau ke Kakak, kemarin Kahfi sakit demam."

"Hah, tumben tuh anak bisa sakit juga. Dia jarang banget sakit. Udah sembuh kan, buktinya tadi aku ke rumah, dia udah berangkat ke rumah sakit."

Dan yang mengejutkan, Kak Rania nampak heran Kahfi bisa sakit.

Yah, mungkin saja darahnya berupa es kan, Kak jadi ya susah sakitnya.

"Iya, kemarin dia demam, tapi udah minum obat juga, Kak.

"Oh ya udah, tapi beneran lho kalau ada apa-apa cerita aja sama Kakak."

"Iya, pokoknya kakak tenang aja."

Setengah jam kemudian kami tiba di rumah sakit. Kak Rania menggiring kami menyusuri lorong-lorong di rumah sakit yang sepagi ini sudah ramai dengan lalu lalang orang. Kami berbelok ke arah kanan sesuai petunjuk letak ruang rumah sakit. Di depan ruang fisioterapi sudah ada beberapa pasien dan keluarganya yang mendampingi. Mereka duduk di kursi-kursi yang berderet memanjang.
Karena Kak Rania bekerja sebagai dokter di rumah sakit ini, semuanya administrasi sudah diurusnya. Kami tinggal duduk mengantri dan menunggu panggilan.

"Vit, Kakak mesti visit pasien dan ada jadwal operasi sesudahnya. Kamu nggak papa kan nunggu disini sama ibu?"

"Nggak papa, Kak. Kalau kakak sibuk nanti begitu selesai sesi terapinya, kami pulang dengan taksi online saja, Kak."

"Iya, sepertinya Kakak nggak bisa nganterin kamu dan Ibu pulang. Ya udah ni uang untuk pulang naik taksinya."

"Uangnya kebanyakan nih, Kak.Kembaliannya nanti aku titipin..."

"Apaan sih kamu, Vit. Ambil aja, buat jajan adik kamu kan bisa."

"Makasih, Kak."

"Iya sama-sama, aku kerja dulu." Kak Rania juga berpamitan pada Bu Widya.
"Rania kerja dulu ya Ma."

Bu Widya menganggukkan kepalanya melepas putrinya.

***

"Ibu haus nggak? Atau pengen makan sesuatu?"
Pertanyaanku hanya dijawab gelengan oleh Bu Widya.
Sudah setengah jam kami duduk menunggu disini. Menghilangkan bosan aku mengajak Bu Widya ngobrol walaupun hanya dijawab dengan sepatah dua patah kata, itu pun terbata-bata tapi setidaknya waktu jadi tak berasa berlalu.

Aku juga berkenalan dengan keluarga pasien yang ikut mengantarkan terapi disini. Di sebelahku ada ibu-ibu yang kuperkirakan berusia awal empat puluhan. Ibu itu mengantarkan anaknya untuk latihan fisioterapi pasca operasi pemasangan pen di kaki kanannya seminggu yang lalu. Anaknya kecelakaan karena ditabrak oleh orang yang mabuk saat berangkat ke sekolah.

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang