WI 16

10K 875 15
                                    

"Mbak..."

"Mbak Vita!"

"Mbak Vita bangun, dipanggil Mbah."

"Hmm, iya bentar, Nduk."

"Mbak hari ini libur juga sama kayak Risa kok belum bangun jam segini?"

"Hmm?"

Mengumpulkan kesadaran yang masih tercecer aku mencoba membuka kedua mataku. Rasanya berat dan masih mengantuk. Semalam aku bermimpi buruk dan berakhir tak bisa kembali tidur sampai menjelang Subuh.

Semalam aku bermimpi terjatuh ke dalam lubang yang gelap dan seakan tak berdasar. Sekuat apapun aku berteriak tapi tak ada yang bisa mendengar dan menolongku. Tak tahu berapa lama aku berkutat dengan mimpi buruk itu, kemudian aku terbangun dengan bajuku yang basah karena bersimbah keringat. Begitu tersadar itu semua hanyalah mimpi, aku menangis dalam diam. Air mataku bercucuran untuk hal yang aku sendiri pun tak tahu. Apakah kelegaan karena bisa kembali terbangun atau karena sisa ketakutan akibat mimpi buruk tadi. Karena mimpi buruk tadi aku jadi telat bangun yang sangat jarang terjadi, karena biasanya sebelum adzan Subuh aku sudah bangun dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah entah menyapu, memasak atau mencuci piring.

Mataku membulat melihat jam weker kecil yang ada di meja belajarku.  Waktu sudah menunjukkan jam 8, ya ampuun aku telat berangkat kerja...Gimana nih...

Buru-buru aku mandi dan berganti pakaian lalu siap-siap berangkat tanpa sempat sarapan. Nanti sajalah sekalian makan siang pikirku.

"Nduk, Mbah kira kamu ndak kerja."

"Vita telat berangkat kerja, Mbah."

"Ndak sarapan dulu tho, Nduk?"

"Nanti disana aja, Mbah?"

"Yo wis hati-hati di jalan ya, Nduk."

"Nggih, Mbah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Langkahku kupercepat menyusuri gang supaya segera sampai di halte.

***

Hal yang menyebalkan di dunia ini adalah, kalau sesuatu tak ditunggu selalu saja  lewat di depan kita tapi begitu ditunggu dan sangat diharapkan, eh malah nggak muncul-muncul. Begitu juga dengan angkot kuning kesayangan yang selalu mengantarkanku. Sudah lima belas menit aku menunggu tapi tak datang juga, ah menyebalkan. Daripada mati gaya kayak gini mending aku menghubungi Kahfi, minta maaf kalau aku telat datangnya. Setelah mengaduk-aduk isi tasku,  aku baru ingat ternyata hapeku ketinggalan di rumah, duh triple sial hari ini. Gimana aku ngasih tahu ke keluarga Bu Widya?

Syukurlah tak lama kemudian, angkotnya datang juga. Segera aku naik, walaupun sepanjang perjalanan kulalui dengan kecemasan.

Begitu sampai di depan rumah Bu Widya, suasananya seperti biasa sepi tapi dari tadi  jantungku terus berdebar-debar. Apakah terjadi hal yang buruk dengan Bu Widya? Semoga saja tidak ya Allah.

Kakiku melangkah cepat ke kamar Bu Widya, tapi beliau tak kutemukan di sana. Apa Bu Widya sedang pergi ya?
Ah tapi tidak mungkin soalnya rumah dalam keadaan tidak terkunci. Apa Pak Hari atau Kahfi terpaksa tidak masuk kerja karena menjaga Bu Widya di rumah. Wah jika benar begitu, aku makin merasa bersalah saja.

"Bu!! Ibu dimana?"

Tetap hening dan tak ada sahutan, ini membuat perasaanku makin tak enak. Segera aku menuju ke belakang, di ruang tengah tidak ada, di ruang makan juga Bu Widya tidak kutemukan. Yang belum kucek hanya tinggal kamar mandi. Aku curiga karena pintu yang sedikit terbuka dan lampu kamar mandi juga menyala. Pelan aku membuka pintu kamar mandi tapi seperti ada yang mengganjal dari dalam. Aku lalu melongokkan kepalaku untuk melihat ke dalam kamar mandi.

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang