WI 15

11.4K 896 21
                                    

Pagi ini saat aku tiba di rumah keluarga Pak Hari, aku terkejut melihat Kahfi yang bersiul-siul saat hendak berangkat ke rumah sakit.

Ah sepertinya beruang kutub sedang bahagia. Senyumnya saja merekah seperti bunga mawar Bu Widya yang ada di taman.

"Baru datang , Vit?", sapanya dengan wajah ramah yang tak biasa dan sangat jarang kulihat selama bekerja di rumah ini.

"Iya, kamu lagi sakit, Fi?", tanyaku dengan raut keheranan yang kentara.

Kening Kahfi mengerut, tapi setelahnya dia tertawa.
"Pagi-pagi udah ngaco kamu.Kenapa emangnya? Nggak lihat apa aku segar bugar gini."

"Justru itu makanya aku nanya. Biasanya muka kamu kan kayak baju kusut nggak disetrika eh pagi ini tumben banget mukanya licin kayak dikasih pelembut pakaian."

Raut wajahnya mulai berubah kaku, oops sepertinya aku sudah salah ngomong karena nada suaranya yang ketus telah kembali.
"Kepo aja! Sana masuk. Emang kamu mau tanggung jawab nanti kalau moodku rusak."

Dari dalam diriku seolah ada keinginan untuk mencari masalah dengannya pagi ini. Aku cuma ingin tahu, sampai dimana perubahan sikapnya berlaku.

"Halah paling juga habis baikan sama Mbak Luna. Bener kan tebakanku?", tanyaku sambil menaikturunkan alis.
Dari perubahan ekspresi Kahfi sih sepertinya tebakanku benar.

Kulanjutkan dengan menjawab asal, "Kalau moodmu rusak tenang aja, aku bakal tanggung jawab. Nanti paling kamu kurendam pakai Molto atau Downy biar lembut dan wangi. Kamu pilih yang mana, hahaha."

"Vita!! Awasss ya kamu!!"

Aku berlari ke dalam rumah masih tertawa-tawa, untungnya Kahfi tidak mengejarku. Memalukan sebenarnya, tingkah kami masih seperti anak kecil. Tapi memang tak peduli seberapa dewasa dan banyaknya umur, pasti dalam diri kita masih ada sisi kekanakan. Dan tak mengapa karena kita terkadang perlu juga menikmati hidup selayaknya anak kecil.

"Kenapa, Vit kok lari-lari, dikejar siapa pagi-pagi?", Pak Hari menatapku keheranan dari meja makan.

Menahan malu aku pun menjawab," Eh itu, Pak maaf, tadi cuma bercanda kok sama Kahfi."

"Oalah, Bapak kirain kenapa. Udah sarapan belum, ayo temenin Bapak sini tapi adanya cuma roti, kalau mau minum teh atau kopi bikin sendiri di belakang."

Aku tersenyum, cuma roti yang dikatakan Pak Hari merupakan makanan yang cukup wah bagi keluarga kami. Sebenarnya aku juga belum sarapan tadi, tapi aku juga tak enak sarapan bersama Pak Hari, jadi aku menolak sambil beralasan, "Vita ke belakang dulu aja, Pak. Mau beres-beres."

Rupanya Pak Hari tak menerima penolakanku.
"Udah, itu bisa nunggu. Sekali-sekali nemenin Bapak sarapan nggak pa-pa, lagian Ibu juga belum bangun, tadi habis Subuh tidur lagi. Ayo duduk sini, Vit."

"Iya, Pak."

Aku mengambil kursi yang berhadapan dengan Pak Hari lalu mengambil setangkup roti dan mengoleskan selai nanas di atasnya. Sepertinya sudah lama sekali aku bisa menikmati sarapan dengan roti dan selai seperti ini.

"Rumah kamu jauh dari sini, Vit?", tanya Pak Hari membuka pembicaraan denganku.

"Oh nggak kok, Pak. Cuma sekali naik angkot udah nyampe."

"Kamu berapa bersaudara? Bapak sih taunya adik kamu yang pernah kesini itu."

"Vita cuma berdua sama Risa kok Pak. Kami tinggal bersama Mbah Ati ."

Kemudian mengalirlah kisah singkat mengenai kehidupanku selama ini. Pak Hari mengangguk-angguk mendengar cerita mengenai keluargaku, dan tatapannya melembut ketika aku menceritakan tentang bapak dan ibuku serta perjuanganku selama ini. Setelahnya aku balik bertanya mengenai rutinitas kegiatan beliau di sekolah dan obrolan-obrolan ringan lainnya untuk menetralkan pembicaraan sebelumnya yang sedikit memancing kesedihan.

Wrong ImpressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang