Revenge

5.1K 202 0
                                    

Author POV
Seorang wanita tergesa-gesa masuk ke sebuah club yang berada di pinggir kota. Wanita itu masuk dan mengedarkan pandangannya ke dalam club, ia sedang mencari seseorang diantara begitu banyak pria-pria menyeramkan, ada yang sedang mabuk, bermain wanita, bahkan berkelahi. Namun wanita itu tidak terlihat gugup sedikitpun. Ia melangkah ke meja bar, dan memesan segelas wiski.
Seorang pria berbadan kekar dengan banyak tato di lengannya duduk di sebelah wanita itu.
"Kau terlambat." Ucap wanita itu singkat, matanya tak lepas dari gelas yang sedang dipegangnya.
"Aku baru saja selesai bersenang-senang. Mengapa terburu-buru." Jawab pria itu dengan santai, namun itu tidak menghilangkan kesan seram di wajahnya.
"Karena aku ingin dia mati secepatnya. Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Karena aku sudah muak dengan rasa sakit hati dan rasa ingin balas dendamku." Ucap wanita itu sengit. Ia menggenggam gelas kosong itu dengan sengit. Seakan gelas itu adalah target yang ia katakan.
Pria itu terkekeh melihat wanita didepannya yang terkungkung oleh rasa sakit hati dan balas dendam. Lalu menggerakkan jarinya membentuk isyarat angka dua kepada bartender, seakan mengerti, bartender memberikan dua gelas wiski dan meletakannya di depan pria itu. Pria itu menyodorkan segelas pada wanita itu dan langsung disambarnya.
"Kau tau bayarannya kan?" Tanya pria itu sambil menyesap minumannya.
"Aku akan membayar setengahnya di muka, jika pekerjaanmu bersih dan tidak ada yang akan mengaitkanku dengan ulahmu itu. Aku akan membayar dua kali lipat." Jawab wanita itu seraya berbalik dan menatap pria seram tadi.
Pria itu menyeringai dan menyodorkan gelasnya ke depan wanita itu. Wanita itu menyentuhkan gelasnya sebentar ke gelas pria itu dan bersulang tanda mereka telah sepakat.

Hari-hari Christine berjalan seperti biasa, semenjak Aaron kembali pulang ke Seattle, kedua orang itu selalu menyempatkan diri untuk menghubungi satu sama lain. Terlebih Aaron, ia memutuskan untuk bekerja kembali dan tentu saja membuat semua pasien yang telah membuat janji temu dengannya membeludak, yang membuatnya kewalahan. Itu membuatnya gelisah karena semakin hari rencana untuknya mengunjungi Christine menjadi semakin tertunda.
"Aku kesal." Ucap Aaron saat menelepon Christine.
"Ada apa? Setiap hari kau meneleponku, setidaknya ucapkan Hallo. Bukannya 'aku kesal'. Kau membuatku jadi tekejut setiap menjawab teleponmu." Ucap Christine.
"Sepertinya aku tidak akan bisa mengunjungimu dalam waktu dekat ini." Ucap Aaron sambil menghela napas gusar. "Hampir semua pasienku yang membuat janji temu denganku bulan depan menolak dialihkan kepada dokter pengganti." Lanjutnya.
"Itu pertanda baik kan? Itu artinya pasienmu itu percaya padamu. Dan sudah tugasmu untuk menolong mereka semua. Seperti janjimu dulu kan?" Jawab Christine menenangkan.
"Tapi aku merindukanmu, sangat. Aku ingin segera bertemu denganmu." Sahut Aaron dengan nada sedikit merengek.
"Jangan begitu, kau sudah bersumpah sebagai seorang dokter akan menolong pasien kan? Jika kau terus mengeluh, maka kesempatanmu untuk berlibur akan semakin kecil, kau tahu." Christine sudah gemas jika sikap Aaron sudah begini.
"Baiklah my love. Aku harus pergi. Ada pasien yang harus ku tangani. Bye." Ucap Aaron seraya menutup teleponnya.
"Bye." Sahut Christine seraya menatap layar ponselnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Di sisi lain Ia sangat merindukan Aaron, disisi lain Ia menjaga hatinya agar tidak egois dengan kesibukan Aaron serta jadwalnya sangatlah padat, Ia tahu ini akan terjadi, namun Ia memilih untuk belajar dalam situasi ini. Christine tersenyum pada dirinya sendiri seraya melirik jam. Ini waktunya ia bekerja, ia segera menyambar gitar yang baru saja di belinya dan segera berangkat bekerja.

I'm in love with you, doc!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang